NEO-SUFISME DAN SPRITUALITAS MASYARAKAT MODERN

Posted by Pustaka Mirzan On Rabu, 17 November 2010 2 komentar
NEO-SUFISME DAN
SPRITUALITAS MASYARAKAT MODERN

A. Pendahuluan
Agama memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia. Agama tidak hanya memberikan landasan normatif dan kerangka nilai bagi kelangsungan hidup umatnya, namun juga memberikan arah dan orientasi duniawi di samping orientasi ukhrowi (eskatologis). Dengan demikian, kehadiran spiritualitas dalam pengalaman sufistik sangat penting dilakukan. Sebab, salah satu dampak negatif modernisme telah menyeret manusia untuk berlomba-lomba mengeruk harta kekayaan demi mendapatkan kekayaan, tanpa melihat esensi dan kualitasnya. Akibatnya, banyak manusia-manusia modern yang antirealitas dan asosial. Melihat gejala yang dihadapi masyarakat tersebut, para pemikir keagamaan, memberikan tawaran alternatif terapi untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka, yakni dengan ber-tasawuf. Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa melakukan tindak sufisme bukan berarti meninggalkan dunia tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi padanya. Sufisme juga dapat menjadi perisai untuk membentengi manusia dari kekuasaan nafsu.
Ilmu pengetahuan modern memberikan sarana bagi ummat Islam untuk mawas diri secara kritik kesejarahan dalam rangka menemukan kembali ajaran islam yang benar-benar segar dan kontekstual sesuai dengan semangat zaman terkini.


B. Pengertian
Neo-sufisme lebih menekankan manusia pada aspek rekonstruksi moral sosial masyarakat. Sufisme merupakan terapi yang efektif untuk membuat orang lebih manusiawi pula. Menjalani sufisme bukan berarti meninggalkan dunia. Tetapi, menjalani sufisme justru meletakkan nilai yang tinggi pada dunia dan memandang dunia sebagai media meraih spiritualitas yang sempurna.
Pada hakekatnya Neo-sufisme berarti paham tasawuf baru, atau menurut istilah Fazlurrahman, tasawuf yang diperbaharui untuk menyebut paham tasawuf para ahli hadits yang puritan, terutama tasawuf Ibnu Taimiyah dan muridnya, ibnu Al-Qayum Al-Jauziyah .
Neo-sufisme, dipelopori oleh tokoh salaf, Ibnu Taimiyah. Meskipun ia menentang berbagai praktek sufi, terutama kultus individu, namun Ibnu Taimiyah justru mengadopsi metode yang mereka gunakan. Ia meniru cara-cara kaum sufi dalam menjalin komunikasi yang akrab dengan Allah SWT.
Sebagai ahli hukum Islam, ia berusaha menyeimbangkan syari’at dan tasawuf. Adapun caranya ialah, berbagai ragam pengalaman sufistik ia uji dengan pengalaman empirik. Perilaku eksternal sufi dikonfrontasikan dan diuji dengan merujuk pada aspek lahiriah ajaran islam. Neo-Sufisme cenderung mengacu pada kehidupan Nabi SAW secara utuh. Tidak ada dikotomi antar syari’at dan taswuf karena nabi Muhammad mampu menggabungkan keduanya dalam satu perilaku dan cermin kehidupan. Tidak ada dikotomi antara filsafat dan tasawuf karena Nabi membangun pola kehidupan yang merangkum keduanya.
Dalam buku the seculer city Harvey Cox, pernah memprediksi keruntuhan agama karena modernisme. Tetapi, agaknya ia segera merubah teorinya, karena ternyata modernisasai sama sekali tidak melumpuhkan agama. Modernisme justru mengantar mansuia pada jalan buntu yang menyebabkan mereka berpaling pada nilai-nilai spritual dan pencarian makna hidup. Fenomena ini diidentifikasi oleh Futrolokg Jhon Naisbitt dan Patridcia Abordene sebagai kebangkitan agama (spritualisme) millenium ketiga (Megatrends 2000, h. 254). Dalam islam kebangkitan spritualisme yang menandai era baru yang disebut Paskahmodernisme itu timbul antara lain dalam bentuk Neo-Sufisme.
Neo-Sufisme menurut Fazlurrahman memilki beberapa ciri yang membedakan dengan tasawwuf populer :
Pertama, Neo-Sufisme, memberikan pengahargaan positif pada dunia untuk seorang sufi. Menurut paham ini tidak harus miskin, bahkan boleh kaya. Kesalehan, menurut paham ini bukan dengan menolak harta dan kekayaan, tatapi mempergunakannya sesuai petunjuk Allah dan Sunnah Rasul.
Kedua, Neo-Sufisme menekankan kesucian moral dan akhlakul karimah sebagai upaya memperkuat iman dan takwa.
Ketiga, dalam Neo-Sufisme terdapat aktivitas dan dinamika baik dalam berpkir maupun dalam bertindak.
Neo-Sufisme tetap menghendaki penghayatan esoterisme yang mendalam, tetapi tidak dengan mengasingkan diri (uzlah), melainkan tetap aktif melibatkan diri dalam masyarakat. Selain sebagai olah rohani, tasawuf klasik berperan melancarkan gerakan oposisi keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik penindasan.

C. Tokoh Neo-Sufisme, Persamaan dan Perbedaan dengan Sufi Klasik
Sufisme mempunyai aspek dukungan yang amat positif bagi mendalamnya keyakinan agama dan pembinaan akhlak yang karimah. Hal ini telah dikemukakan oleh imam Al-Ghazali dalam bukunya al-Munqidz min al Dlalal. Yaitu, karena mereka percaya bahwa dengan pengalaman kejiwaan (kasyfi) itu adalah hubungan langsung dengan Tuhan, maka benar atau salah kepercayaan ini menimbulkan keyakinan yang mantap tak tergoyahkan. Keyakinan itu menghidupkan rasa yang mendorong ketekunan beribadah dan pengamalan agama. Disamping itu, jalan untuk mencapai pengalaman kasyfi juga menjadi sarana pembinaan akhlak keagamaan. Ada kekhawatiran apabila tasawuf dihapuskan, umat Islam akan terpelanting ke arah formalisme yang kaku dan kosong dari rasa agama. Bahkan ada yang memandang penghayatan kasyfi sebagai dimensi batin bagi agama Islam. Nurcholis Madjid misalnya dalam bukunya Islam Agama Peradaban mengatakan sebagai berikut:
Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (zhahiri) dan esoterik (bhatini) sekaligus. Tetapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek penghayatan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) dalam Islam, namun kenyataannya banyak kaum Muslim yang penghayatan keislamannya lebih mengarah kepada yang lahiri dan banyak pula yang lebih mengarah kepada bhatini. Kaum syariah lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syari’ah atau hukum sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum thariqah yaitu mereka yang berkecimpung dalam amalan-amalan tarekat, dinamakan kaum batini.

Pemikir yang memahami benar-benar intisari sufisme yakni mencari hubungan langsung secara tatap muka dengan Tuhan dengan perantaraan pengalaman kejiwaan (kasyfi), pasti menilai tidak ada pembaharuan. Sufisme adalah kepercayaan bahwa penghayatan kasyfi yang bersifat pengalaman kejiwaan itu merupakan dalil yang paling meyakinkan. Intisari yang menjadi tujuan utama tasawuf tidak mungkin dicapai bila dibatasi dengan aturan-aturan syariat. Tujuan tasawuf hanya bisa dicapai dengan kontemplasi dengan perantara membaca aurad-aurad yang kaifiyatnya menyimpang dari tuntunan syariat. Dan amal semacam inilai yang dinalai oleh para pembaru agama sebagai bid’ah. Kenyataan inilah yang menyebabkan upaya-upaya untuk mensyariatkan sufisme seperti dicoba oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Haji Ahmad Rifa’i dan Hamka di Indonesia tidak bisa berkembang ; disebabkan berlawanan dengan logika pemikiran sufisme itu sendiri.
Istilah Neo Sufisme berasal dari Fazlur Rahman dalam upaya untuk memperbarui sufisme dengan jalan mencoba mengikat serta menundukkan ajaran tasauf dibawah kendali syariat yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam sistem Ghazaliyah tasawuf atau ilmu Hakikat dipandang lebih halus dan lebih tinggi dari syariat. Urutannya adalah syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Dalam cita neo-sufisme sebaliknya sufisme harus tunduk didalam kendali syari’at. Penganut paham neo-sufisme ini terdapat dua cabang. Satu cabang menolak penghayatan kasyfi sebagai intisari atau hakikat sufisme. Mereka berusaha mengembalikan pada bentuk tasawuf seperti yang diamalkan para sahabat nabi (ulama salaf). Artinya intisari yang menjadi tujuan tasawuf hendaknya hanya bertekun beribadah dan menghindari kemewahan hidup duniawi. Penghayatan kasyfi yang kadang menyertai orang-orang yang tekun beribadah itu adalah godaan, yang apabila itu diutamakan berarti penyimpangan dari tujuan tasawuf semula (yang asli). Cabang yang lain mengakui penghayatan kasyfi memang intisari ajaran tasawuf. Namun kebenarannya jangan di mutlakkan. Kebenaran penghayatan kasyfi harus di uji sesuai atau tidak dnegan syari’at. Cabang pertama yang berupaya mengalihkan intisari yang menjadi tujuan utama tasawuf adalah ketekunan beribadah dipelopori Ibnu Khaldun. Dalam kitabnya Muqadimah tentang bab “Ilmu Tashawwuf” Ibnu Khaldun mengatakan agar tujuan utama ajaran tasawuf atau sufisme diubah.
Usul Ibnu Khaldun untuk tidak mementingkan penghayatan kasyifi ini memang bagus, namun kurang realitis. Karena apabila penghayatan makrifat yang menjadi intisari sufisme ditinggalkan atau tidak menjadi tujuan utama, tasawuf pasti akan gulung tikar, tidak menjadi tasawuf lagi. Yakni berubah menjadi ‘abid atau zahid, tidak perlu disebut sufi atau mistikus. Karena kurang realis maka ide Ibnu Khaldun tidak digubris dan tidak diperhatikan oleh para sufi sendiri. Cabang kedua, tetap mengakui penghayatan kasyfi sebagai intisari dan tujuan utama tasawuf. Upaya ini mula-mula dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Di Indonesia faham ini dianut oleh Haji Rifa’i dan Hamka. Nurcholish Majid dalam bukunya Islam Agama Peradaban menjelaskan secara panjang lebar tentang neo-sufisme sebagai berikut :
Fazlur Rahman menjelaskan sufisme baru itu merupakan ciri utama berupa tekanan kepada motif moral dan penerapan metode zikir dan muraqobah atau konsentrasi keruhanian guna mendekati Tuhan, tetapi sasaran dan isi konsentrasi disejajarkan dengan doktrin salafi (ortodoks) dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan kepada qidah yang benar dan kemurnian moral dan jiwa.gelaja yang dapat disebut sebagai neo-sufisme ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan kembali sikap positif kepada dunia. Dalam makna inilah kaum Hambali seperti Ibn taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah, sekalipun sangat memusuhi sufisme populer, adalah jelas kaum neo-sufi, malah mejadi perintis ke arah kecenderungan ini. Selanjutnya kaum neo-sufi juga mengakui sampai batas tertentu, kebenaran klaim sufisme intelektual : mereka menerima kasyf (pengalaman menyingkapkan kebenaran Ilahi) kaum sifi atau ilham intuitif, tetapi menolak klaim mereka seolah-olah tidak dapat salah (ma’shum), dengan menekankan bahwa kehandalan kasyfi adalah sebanding dengan kebersihan moral dari kalbu, yang sesungguhnya mempunyai tingkat-tingkat yang tidak terhingga. Ibn Qayyim sesungguhnya mengaku pernah mengalami kasyf sendiri. (Islam Agama Peradaban, hlm. 93-94).

Keyakinan kaum sufi yang sejati tidak akan bisa ditawar, bahwa penghayatan kasyfi adalah ilmu yang mendatangkan haqqul-yaqin, dan bahwa ilmu yang mereka yakini sebagai ladunniyah lebih tinggi dan benar dari ilmu-ilmu ta’limiyah. Maka golongan terbesar atau masyarakat sufi tidak akan tergoyahkan dan tidak akan tertarik dengan ide-ide baru yang memang berlawanan dari dasar fikiran sufisme.
Adapun gerakan pemikiran Islam yang tegas menolak dan menjauhi sufisme juga membentur suatu masalah yang setiap saat menghantui mereka, yaitu proses pendangkalan spiritual dan rasa agama. Dengan pendangkalan ini gerakan akan selalu dihadang oleh penyakit formalisme dan kejatuhan moral Islam. Akhlak Islamiyah tidak bisa dibina hanya dengan kegarangan rasional saja. Bahkan rasionalisme syariat dan pemikiran Islam ini pun akan membentur pada masalah penafsiran kembali ajaran-ajaran agama yang itu-itu juga. Artinya akan terjerat pada pemikiran yang berputar sehingga mengkontektualkan Islam, namun kekurangan ahli pemikir agama yang mampu berfikir akademis.
Spritualisme masyarakat modern muncul di dorong oleh modernisme itu sendiri di mana manusia modern merasakan bahwa harta tidak lagi dapat menjadi patokan pembawa kebahagiaan dan penyejukab hati sehingga masyarakat modern mengalami kefakuman eksistensial. Hal ini pada akhirnya mengantarkan masyarakat modern kembali kepada nilai-nilai religius. Masyarakat modern haus akan kegiatan-kegiatan dan orang-orang yang mampu memberikan kesejukan dan ketenangan jiwa bagi mereka.
Sebuah fenomena, pada awal abad ke 20 ini, di Indonesia – dengan tidak menafikan negara-negara Islam lainnya – telah muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup berani dengan kemampuannya mengungkap warisan ilmu pengetahuan Islam dengan pendekatan epistemologi Islaminya. Ary Ginanjar Agustian misalnya, meski dia seorang praktisi yang bergerak di bidang usaha, dengan ‘ESQ Model’ nya, ia telah dianggap mampu memperkenalkan paradigma baru yang mensinergikan sains, sufisme dan psikologi dengan tetap berpijak pada ajaran-ajaran Qur’ani serta penekanannya pada prinsip Tauhid.
Ada lagi Agus Musthofa, seorang sarjana teknik nuklir lulusan Universitas Gadjahmada (UGM) Yogyakarta, dengan cukup berani ia mencoba menyingkap fenomena-fenomena spiritual yang dianggap sulit dicerna oleh indera manusia dengan argumen-argumen logis-empiris namun tetap berpijak pada koridor ajaran wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Tantangan terbesar bagi ilmuwan Muslim saat ini adalah, bagaimana menemukan formulasi yang konfrehensif tentang berbagai macam teori ilmu pengetahuan yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik Islam maupun non Islam, sehingga sains Islam-pun bukan hanya akan terbebas dari bayang-bayang imperialisme epistemologi barat, tetapi juga mampu mencerminkan secara kongkrit konsep Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’.

D. Implikasnya bagi Masyarakt Modern
Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, teknologi, dan sebagainya.
Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak dijumpai oang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.
Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka diperlukan keterlibatan langsung tasawuf dalam kancah politik dan ekonomi, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai daerah di Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan perjuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada “terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktif, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme.
Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat martabat umat itu sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi yang akhirnya menjadikan mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal ini adalah suatu bahaya yang wajib dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang yang percaya terhadap Allah dan Rasulnya. Kalau kita perhatikan saat ini bahaya dari terbengkalainya perekonomian sangat membahayakan umat, oleh karena itu pembenahan dalam bidang ekonomi sangat diperlukan sebagai perantara bagi umat untuk memperoleh kedamaian di Dunia dan Akhirat. Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sangat dianjurkan didalam Islam, serta pengamalan dari pengetahuan juga harus disesuaikan dengan kehendak Ilahi sebagai wujud yang kita yakini sebagai wujud tunggal yang menguasai segala hal di alam semesta ini. dalam mendorong umat untuk giat mencari ilmu, para ulama’ menetapkan bahwa setiap ilmu hasil ciptaan atau hasil buatan yang memang diperlukan oleh umat Islam maka hukumnya adalah fardu kifayah, seperti yang pernah dikatakan oleh al Ghazaly:
” apabila ilmu dan karya yang dimiliki oleh Non-Muslim lebih baik dan lebih maju dari pada yang dimiliki oleh kaum Muslim, maka kaum muslim berdosa dan kelak mereka akan dituntut atas kelalaianya itu”.
Dari serangkaian paparan di atas kiranya kita bisa mengetahui bahwa perkembangan tasawuf mulai dari awal munculnya sampai pada saat ini memang dituntut untuk mengalami berbagai bentuk perubahan yang di sesuaikan dengan keadaan dan pola kebiasaan dari suatu masyarakat, karena tasawuf ibarat makanan yang disuguhkan oleh para mursyid kepada suatu masa atau masyarakat yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu dan membutuhkan keahlian dan racikan yang berbeda pula, tetapi perubahan bentuk itu hanya sebatas pada bentuk luarnya saja, secara garis besar konsep dasar yang ada dalam tasawuf hanyalah satu, yaitu keyakinan, ketundukan, kepatuhan, pendekatan terhadap serta menjahui hal-hal yang bisa menganggu ibadah kepada Allah yang satu.
Kekuatan tasawuf mampu membangkitkan kesadaran dan nuansa pembebasan masyarakat Muslim. Kecenderungan demam tasawuf di perkotaan kian menunjukkan peningkatan. Kursus-kursus tasawuf yang diselenggarakan oleh lembaga semacam LSAF, Paramadina, Sehati, Tazkiya, dan lain-lain menarik minat yang cukup tinggi, terutama di kalangan kaum kota yang terdidik secara modern.
Mubaligh-mubaligh dalam sosok sufi pun makin dirindukan umat. Aa’ Gym, Arifin Ilham, atau Ihsan Tanjung, yang terkenal dengan program Alquran Seluler, mewakili dai-dai sufi yang bertumpu pada kekuatan akhlak dan aura spiritualnya. Buku-buku tasawuf, mulai dari sufi klasik; Ibn Arabi, al-Hallaj, al-Aththar, al-Qawariri, atau al-Kharraj hingga pemikir sufi kontemporer; Inayat Khan, Idris Shah, Kabir Helminski, Hakim Moinuddin Christhi, Seyyed Hossein Nasr, dll makin digemari dan membanjiri pasaran.
Kebangunan tasawuf ini dapat ditengarai sebagai antitesis fiqh-oriented yang telah lama menghinggapi pola hidup masyarakat Muslim. Bukan berarti fiqh tidak penting. Secara fungsional-historis, fiqh telah berdiri memberi arah kejelasan ajaran-ajaran Islam, tapi "penganakemasan" berlebihan pada fiqh hanya menggiring esktremisme yang tidak bisa ditolerir. Wacana keberagamaan yang cenderung fiqh bukan saja memancangkan reduksionisme pola pikir yang dualistis, tapi juga mengintrodusir tafsir keagamaan "bawah-atas" yang sangat terikat dengan ruang dan waktu, karenanya tidak berlaku universal. Fiqhisme memang berhasil menjelaskan tata cara hidup, namun gagal mengajarkan bagaimana menikmati hidup.
Dalam konteks ini, tasawuf hadir menginjeksi fungsi pendalaman, sesuatu yang bersifat esoteris. Namun, tasawuf bukanlah esoterisme. Karena esoterisme adalah pengembaraan aspek-aspek "dalam" yang sepenuhnya terlepas dari sandaran jurisprudensi formal agama, seperti syariat. Tasawuf berpijak pada syariat untuk menjalani tarekat guna mencapai hakikat. Inilah neo-sufisme yang dimunculkan Fazlur Rahman (1979) dengan menitikberatkan pada rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Dengan pendalaman, tasawuf diharapkan memberikan tempat buat bangkitnya kesadaran dan nuansa pembebasan bagi masyarakat Muslim.

2 komentar to NEO-SUFISME DAN SPRITUALITAS MASYARAKAT MODERN

  1. says:

    Unknown neo sifisme itu, sama dengan peitukambaruan islam? begitukah?

  1. says:

    Unknown maksudnya pembaruan islam,,

Posting Komentar