Pendidikan Agama di Sekolah Umum

Posted by Pustaka Mirzan On Rabu, 17 November 2010 0 komentar
Pendidikan Agama di Sekolah Umum
A. Pendahuluan
Pendidikan agama Islam pada hakikatnya adalah upaya transfer nilai-nilai agama, pengetahuan dan budaya yang dilangsungkan secara berkesinambungan sehingga nilai-nilai itu dapat menjadi sumber motivasi dan aspirasi serta tolok ukur dalam perbuatan dan sikap maupun pola berpikir. Sementara tekad bangsa Indonesia yang selalu ingin kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sangat kuat. Berdasarkan tekad itu pulalah maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya semakin mendapat tempat yang kuat dalam organisasi dan struktur pemerintahan.
Pembangunan Nasional memang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani antar bidang material dan spritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti ini menjadi pangkal tolak pembangunan bidang agama.
Di sisi lain, yang menjadi sasaran pembangunan jangka panjang di bidang agama adalah terbinanya iman bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam kehidupan yang selaras, seimbang dan serasi antara lahiriah dan rohaniah, mempunyai jiwa dinamis dan semangat gotong royong, sehingga bangsa Indonesia sanggup meneruskan perjuangan untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Ringkasnya bahwa ditinjau dari segi falsafah negara Pancasila dari konstitusi UUD 1945 dan berdasarkan keputusan-keputusan MPR tentang GBHN, maka kehidupan beragama dan pendidikan agama di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 sampai berakhirnya pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I hingga sekarang ini semakin mantab.
Bangsa Indonesia memang merupakan suatu bangsa yang religius, sikap hidup religius ini telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan bukti nyata terhadap sikap tersebut. Sejarah mencatat bagaimana pada tanggal 1 Juli 1945, dihadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaaan, Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama RI, mengatakan bahwa betapa pentingnya setiap bangsa Indonesa bertuhan, dan mengajak setiap bangsa Indonesia mengamalkan agamanya masing-masing. Sesudah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945, ditetapkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila.[1]Sila pertama inilah yang menjadi perwujudan dari sikap hidup yang religius dari rakyat Indonesia tersebut. Dan untuk merealisasi sikap hidup yang agamis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pemerintah pada tanggal 3 Januari 1946 membentuk Departemen Agama. Tugas utama dari Departemen Agama adalah mengurus soal-soal yang berkenaan dengan kehidupan beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satu di antaranya adalah masalah pendidikan agama.[2]
Adapun makalah sederhana ini berusaha sedikit mengupas sepak terjang serta perkembangan pendidikan agama di sekolah umum; baik dari segi Perundangan, Kurikulum, Jam, Keguruan, dan lain-lain; sejak Awal Kemerdekaan hingga UUSPN No. 20/2003. Untuk membatasi permasalahan, maka di sini penulis akan membahas tentang pelaksanaan dan perkembangan pendidikan agama di sekolah umum setelah Indoneisa merdeka ke dalam tiga fase. Fase-fase tersebut – sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Haidar Putra Daulay – adalah sebagai berikut:
• Fase pertama sejak tahun 1946 – 1965; yaitu sebagai fase peletakan dasar dan pendidikan agama di sekolah umum. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase pencarian bentuk dan masa pembinaan awal.
• Fase kedua sejak tahun 1966 – 1989; yaitu setelah diadakan Sidang Umum MPRS/1966, TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang pada pasal 1 menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari SD sampai Universitas.
• Fase ketiga sejak tahun 1990 – sekarang; yaitu setelah ditetapkan dan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 2 tahun 1989) di mana pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.[3]
B. Dinamika Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Pendidikan Agama di Sekolah Umum jika ditinjau dari segi pelaksanaannya setelah Indonesia merdeka dapat dibagi kepada tiga fase. Fase pertama sejak tahun 1946 – 1966, fase kedua adalah fase setelah diadakannya Sidang Umum MPRS tahun 1966, dan fase ketiga, yaitu sejak diberlakukannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 hingga sekarang.
(a) Fase Pertama: 1946 – 1965
Setelah kolonial Belanda mampu dikalahkan kolonial Jepang, maka penguasa di tanah air sepenuhnya berada di tangan kolonial Jepang (8 Maret 1942). Seluruh sistem yang berlaku sebelumnya diambil alih oleh Jepang dan hal ini mengalami perubahan yang hampir dapat dikatakan mencapai 180 derajat. Satu hal yang paling penting bagi rakyat Indonesia adalah berbedanya sistem pendidikan yang dilakukan Belanda dengan Jepang.
Kondisi di atas justru membawa keberuntungan bagi bangsa Indonesia, walaupun sebenarnya apa yang dilakukan Jepang semata-mata untuk kepentingan politik, tetapi rakyat Indonesia (terutama para pemuka agama) tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegerikan baik sekolah swasta seperti Muhammadiyah, dan Taman Siswa, kemudian diperbolehkan terus berkembang, walaupun masih memenuhi kewajiban untuk tetap berada di bawah pengawasan dan penguasaan kolonial Jepang. Hal ini terus berjalan hingga Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaannya.[4]
Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, kondisi pendidikan agama semakin membaik, dan mendapatkan perhatian yang serius dari pihak pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Ini dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa Madrasah dan Pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah menyumbangkan perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.[5]
Meskipun Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dan sedang menghadapi revolusi fisik, tetapi pemerintah tetap berbenah diri dalam mempertahankan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan. Maka dibentuklah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) dan Ki Hajar Dewantara sebagai Menterinya. Satu di antara realisasi dari pembentukan PP dan K ini adalah mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang baru. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan ini merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka.
Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita tersebut, maka bidang pendidikan mengalami perubahan terutama dalam landasan idiilnya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia. Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah ialah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan konstitusi di atas, pembatasan pemberian pendidikan disebabkan perbedaan agama, sosial, ekonomi dan golongan yang ada di masyarakat tidak dikenal lagi. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih kemana dia akan belajar, sesuai dengan kemampuan dan minatnya.[6] Seiring dengan perjalan sejarah bangsa Indonesia, sejarah kebijakan pendidikan pun tetap mengambil posisinya, termasuk di dalamnya pendidikan Islam. Pembinaan pendidikan agama secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada tanggal 2 Desember 1946, diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah naungan kementerian PP dan K. Sejak saat itu terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan Agama dan pendidikan Umum. Di satu pihak Departemen PP dan K mengelola pendidikan agama yang mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Keadaan ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakaan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.[7]
Dan kemudian dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang Pendidikan Nomor 12 Tahun 1954 Bab XII pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri[8], berbunyi:
1. Dalam sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orangtua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2. Cara penyelenggaran pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Penjelasan Bab XII pasal 20 tersebut adalah sebagai berikut:
a) Apakah suatu jenis sekolah memberi pelajaran agama adalah tergantung pada umur dan kecerdasan murid-muridnya.
b) Murid-murid yang sudah dewasa boleh menetapkan ikut atau tidaknya ia dalam pelajaran agama.
c) Sifat pengajaran agama dan jumlah jam pelajaran ditetapkan dalam undang-undang tentang jenis sekolahnya.
d) Pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas anak.
Menganai hak orangtua dalam hal pendidikan agama ditentukan sebagai berikut:
a) Orangtua menentukan, apakah anaknya mengikuti pelajaran agama atau tidak (untuk pelaksanannya Inspeksi Pengajaran mengeluarkan formulir untuk itu).
b) Hal yang dimaksudkan dalam poin (a) di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran, Pasal 20.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 dinyatakan bahwa pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah negeri, sedangkan untuk sekolah-sekolah swasta di atur pada pasal 9 dalam instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.17678/Kab, tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan), N.K.I/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama).
Sementara itu pada Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama)[9], diatur tentang peraturan pendidikan Agama di sekolah-sekolah yaitu:
Pasal 1 : Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberi pendidikan agama.
Pasal 2 : 1. Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada kelas 4; banyaknya 2 jam dalam satu minggu.
2. Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama pada dimulai pada kelas 1, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah lain-lain lingkungan.
Pasal 3 : Di sekolah-sekolah lanjutan tingkatan pertama dan tingkatan atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu.
Pasal 4 : 1. Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-masing.
2. Pendidikan agama baru diberikan pada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang, yang menganut suatu macam agama.
3. Murid dalam satu kelas yang memeluk agama lain dari pada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.
Sebagai bahan lanjutan dari peraturan bersama ini, maka pada tanggal 16 Juli 1951 dikeluarkan lagi peraturan bersama dengan nomor surat masing-masing: No. 17678/Kab, tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No. K/1/1980 tanggal 16 Juli 1951 (Agama). Isi dari peraturan bersama ini adalah memperbaiki Peraturan Bersama yang dikeluarkan tanggal 20 Januari 1951. Namun pada prinsipnya, kedua peraturan tersebut (baik yang dikeluarkan tanggal 15 Januari 1951, maupun yang dikeluarkan tanggal 16 Juli 1951) adalah sama halnya terdapat perbaikan pada poin khusus tanpa ada perubahan yang prinsipil.
Selain itu, di bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-penyempurnaan, dalam hal ini dibentuk suatu kepanitiaan yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952. Sejak itulah dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai Sekolah Rendah (Dasar) sampai Universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.
(b) Fase kedua: 1966 – 1989
Perkembangan pendidikan agama di Indonesia pada masa Orde Baru, ditandai dengan selesainya bangsa Indonesia dalam menumpas G30 S/PKI (1965-1966). Sejak saat itu pula pemerintah Indonesia semakin menunjukkan perhatiannya terhadap pendidikan agama, sebab disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunisme. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut maka sidang umum MPRS tahun 1966 berhasil menetapkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, pada Pasal I menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai universitas-universitas negeri.
Selanjutnya pada Pasal 4 poin (a) pada TAP MPRS tersebut juga menyatakan bahwapendidikan agama mempertinggi mental-moral-budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. Penetapan-penetapan ini semakin mengukuhkan status dan kedudukan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
(c) Fase ketiga: 1990 – sekarang
Perkembangan pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan pembenahan, termasuk pada bidang agama. Bahkan belakangan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga turut mengatur penyelenggaraan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Melalui proses yang panjang dalam penyusunannya, sejak 1945 hingga 1989 tampaknya undang-undang inilah yang merupakan puncak dari pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional, yang dianggap sebagai usaha untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan yang selama ini masih berjalan. Karenanya masalah-masalah pendidikan terutama yang menyangkut kurikulum pendidikan, maka semuanya berada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Dengan demikian berarti UU Nomor 2 tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, dan dengan wadah tersebut, pendidikan Islam mendapat peluang serta kemampuan untuk berkembang.
Kedudukan pendidikan agama semakin kuat setelah ditetapkannya tujuan pendidikan nasional dalam UU Nomor 2 tahun 1989 ini, yaitu: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhru, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[10]
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pada Bab II Pasal 3 dijelaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”[11]
C. Kedudukan Peserta Didik, Pendidik, serta Kurikulum pada Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Untuk mengetahui kedudukan pendidikan agama di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan melalui makalah ini, di antaranya:
1) Peserta didik
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 Bab VIII Pasal (16) Ayat (2) menjelaskan bahwa “Siswa mempunyai hak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya.” Sementara dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Bab V Pasal 12 Ayat (1) tentang Peserta Didik disebutkan bahwa Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;[12]
Baik Undang-Undang maupun peraturan pemerintah tentang peserta didik sangat jelas menentukan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang baik secara merata, tanpa dibedakan oleh latar belakang ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat. Peroleh pendidikan tersebut mencakup seluruh mata pelajaran yang diajarkan dalam satuan pendidikan, termasuk mata pelajaran agama di sekolah umum.
Mengenai pendidikan agama, Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 memberikan semacam syarat bahwa mata pelajaran agama harus diajarkan oleh pendidik (guru) yang seagama. Hal ini bertujuan agar mata pelajaran yang diajarkan tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Dan hal ini juga menunjukkan suatu sikap profesionalisme seorang guru dalam mengajar.
Perlu dijelaskan di sini bahwa pada dasarnya peserta didik pendidikan agama di sekolah umum berasal dari latar belakang kehidupan beragama yang beragam. Hal ini tentu banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan beragama di lingkungan keluarga masing-masing. Ada di antaranya berasal dari lingkungan keluarga yang taat beragama, tetapi banyak pula sebaliknya. Hal ini sangat berdampak terhadap berhasilnya pendidikan agama di sekolah. Bagi peserta didik yang berasal dari lingkungan keluarga yang kurang taat beragama perlu penanganan serius, sebab apabila tidak dicarikan solusinya, maka peserta didik ini, bukan saja tidak serius mengikuti pendidikan agama, tetapi juga akan menganggap enteng pendidikan agama. Sikap seperti ini amat berbahaya, sebab bisa saja sikapnya yang seperti itu akan terkontaminasi bagi peserta didikn lainnya. Untuk itu, seorang guru dan sekolah harus jeli dan mampu mencari solusi yang tepat sesuai kebutuhan peserta didik masing-masing.
2) Pendidik
Dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor: 17678/Kab. tanggal 16 Juli 1951 (Pendidikan) dan No. K.I/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama) pada Pasal 5 dijelaskan sebagai berikut:
1. Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh Menteri Agama, atas usul instansi agama yang bersangkutan.
2. Begitu pula segala biaya untuk pendidikan agama itu menjadi tanggungan Kementerian Agama.
Berdasarkan Pasal 5 Surat Keputusan Bersama di atas, maka Kementerian Agama berkewajiban untuk mengangkat dan mengadakan guru agama. Dalam hal pengangkatan guru agama ini lewat prosedur yakni guru-guru agama diangkat oleh Menteri Agama atas usul Kantor Pendidikan Agama Kabupaten, mengenai guru-guru agama Islam, Kantor Pendidikan Agama sebelumnya menyampaikan usul, diwajibkan mengadakan perhubungan dengan perserikatan-perserikatan agama Islam yang mempunyai kegiatan dalam lapangan pendidikan di daerah-daerah yang bersangkutan.[13]
Dalam hal ini yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendapatkan tenaga guru untuk mengajar agama di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi ini dilakukan usaha latihan (atau semacam penataran pada masa sekarang ini) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru agama dalam mengajar. Dan untuk memenuhi kebutuhan guru ini, pemerintah pada tanggal 16 Mei 1948 mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Islam (SGHI) di Solo yang kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Akibat agresi Belanda II sekolah ini sempay ditutup lebih kurang satu tahun, dan kemudian pada tanggal 16 Januari 1959 dibuka kembali.[14]
Selain itu, pada tanggal 15 Agustus 1950 Kepala Bagian Pendidikan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 227/C/C-9 yang berisikan anjuran pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang dibagi kepada dua bagian; yaitu 5 tahun setelah tamat Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah, dan 2 tahun setamat SMP atau Madrasah Lanjutan Pertama. Disamping SGAI juga dianjurkan dibuka SGHAI (Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam) yang lama pelajarannya 4 tahun sesudah SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Dengan penetapan Menteri Agama No. 7 tanggal 15 Februari 1951 seluruh SGAI diubah namanya menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) yang lama belajarnya 5 tahun setelah Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah. Sedangkan SGHAI diubah menjadi SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama) yang lama pendidikannya 4 tahun setamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Namun pada tahun 1953, Menteri Agama kembali mengeluarkan ketetapan dengan Nomor 35 tanggal 21 November 1953, yang menyebutkan bahwa lama belajar PGA diubah menjadi 6 tahun; yang terdiri dari PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) 4 tahun, dan ditambah dengan PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) selama 2 tahun.[15]
Semua jenis sekolah guru ini disebut juga dengan sekolah dinas, maksudnya adalah bahwa setelah lulus dari sekolah tersebut langsung diangkat menjadi pegawai negeri, hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 8 tahun 1951. Namun disebabkan kekurangan anggaran negara, sejak tahun 1969 tidak ada lagi disediakan ikatan dinas. Bahkan sekarang ini, sekolah guru ini (PGA dan sejenisnya) telah dihapuskan pemerintah. Adapun Departemen Agama menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang diberlakukan secara nasional.
Adapun mengenai Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diatur pada Bab XI, masing-masing pada pasal 39, pasal 40, pasal 41, pasal 42, pasal 43, dan pasal 44. Untuk pasal 41 tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
2. Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
3. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.[16]
3) Kurikulum
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), yang di antara usul Badan tersebut kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan adalah termasuk pengajaran agama, madrasah, dan pesantren. Adapun butir usulan Badan Pekerja tersebut adalah sebagai berikut:
Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur saksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah kementerian mengadakan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari Pemerintah.[17]
Sedangkan implementasi dari usulan Badan Pekerja ini adalah dengan diberlakukannya beberapa ketentuan sebagai berikut:
1. Pelajaran agama dan semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
2. Para guru dibayar oleh Pemerintah.
3. Pada Sekolah Rakyat, pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
4. Pendidikan itu dilaksanakan seminggu sekali pada jam tertentu.
5. Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
6. Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
7. Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.
8. Diadakan latihan bagi para guru agama.
9. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[18]
Selanjutnya, berdasarkan ketetapan MPRS No. XXVII tahun 1966 juga turut melahirkan peraturan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967, dimana ditetapkan alokasi waktu mata pelajaran agama sebagai berikut:
• Kelas I dan II SD : 2 jam per minggu
• Kelas III SD : 3 jam per minggu
• Kelas IV SD : 4 jam per minggu
• SMP dan SMA : 4 jam per minggu
• Perguruan Tinggi : 2 jam per minggu
Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional ditemukan beberapa point tentang pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, Bab IX Pasal 39 Ayat (2) dan (3) menjelaskan sebagai berikut:
Ayat (2): Isi Kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a) Pendidikan Pancasila;
b) Pendidikan Agama; dan
c) Pendidikan Kewarganegaraan.
Ayat (3): Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran (PP 28 Bab VII Pasal (14) Ayat (2):
1. Pendidikan Pancasila
2. Pendidikan Agama
3. Pendidikan Kewarganegaraan
4. Bahasa Indonesia
5. Membaca dan Menulis
6. Matematika (termasuk berhitung)
7. Pengantar Sains dan Teknologi
8. Ilmu Bumi
9. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum
10. Kerajinan Tangan dan Kesenian
11. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
12. Menggambar
13. Bahasa Inggris.[19]
Selanjutnya pada Undang-Undang No, 20 Tahun 2003 Bab XI tentang Kurikulum memuat tiga pasal; masing-masing pasal 36, pasal 37, dan pasal 38. Pada pasal 36 Ayat (3) dijelaskan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1. peningkatan iman dan taqwa;
2. peningkatan akhlak mulia;
3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6. tuntutan dunia kerja;
7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8. agama;
9. dinamika perkembangan global; dan
10. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.[20]
Sedangkan pada pasal 37 Ayat (1) disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1. pendidikan agama;
2. pendidikan kewarganegaraan;
3. bahasa;
4. matematika;
5. ilmu pengetahuan alam;
6. ilmu pengetahuan sosial;
7. seni dan budaya;
8. pendidikan jasmani dan olahraga;
9. keterampilan/kejuruan; dan
10. muatan lokal.[21]
Berdasarkan ketentuan ini jelaslah betapa penting dan strategisnya kedudukan pendidikan agama di Indonesia.
D. Berbagai Respon Masyarakat tentang Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Sekolah umum sebagai salah satu sub-sistem pendidikan nasional, sudah barang tentu tidak dapat melepaskan diri dari tujuan pendidikan nasional. Oleh sebab itu sekolah umum juga harus mampu mewujudkan manusia takwa sebagai indikator keberhasilannya, maka pemerintah memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah umum mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.
Namun bila dilihat pelaksanaannya di lapangan, berbagai respon masyarakat tentang peran pendidikan agama di sekolah umum tentu saja tidak bisa dihindarkan. Hal ini karena masyarakat merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan system pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Dan tentu saja terlepas dari respon positif dan negative yang mereka berikan.
H.M. Arifin, misalnya, menilai bahwa alokasi waktu yang diberikan untuk materi agama sangat sedikit, yakni hanya berkisar 2 jam pelajaran setiap minggu, sehingga jalan yang dilalui guru dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap bagi peserta didik tidak mungkin bisa diperoleh secara maksimal. Apalagi materi pelajaran agama tersebut sangat banyak, sehingga mengakibatkan guru tidak lagi memikirkan kualitas ouput, tapi bagaimana cara agar materi tersebut dapat selesai diberikan.[22]
Sementara Mu’arif menilai bahwa hadirnya pendidikan agama yang mewarnai wajah pendidikan nasional memiliki banyak kelemahan, baik aspek sistemnya maupun metode pembelajarannya; yang kesemuanya kurang mengakomodir kepentingan-kepentingan murid dalam rangka pengembangan potensi-potensi mereka. Muarif menilai bahwa guru-guru agama dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran hanya memfokuskan diri pada penanaman nilai-nilai moral agama yang ditarnsformasikan secara langsung kepada murid-murid dengan tidak menyematkan metode dialogisdan partisipatoris. Yang terjadi kemudian, murid-murid hanya mewakili dari obyekpembelajaran statis yang menerima transformasi pengetahun dari guru.[23] Artinya, siswa hanya dibekali teori tanpa disertakan aplikasi dan pembiasaan dalam kehidupan nyata. Sehingga pendidikan agama tidak dapat berpengaruh banyak terhadap prilaku dan moral keseharian peserta didik.
Sedangkan YB. Mangunwijaya mengkritik secara umum tentang pelaksanaan pendidikan nasional di Indonesia. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik system pendidikan nasional sejak masa rezim Orde Baru yang cenderung sentralistik dan banyak diintervensi oleh Penguasa. Keadaan serupa katanya masih tetap berlangsung hingga saat ini, sehingga pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk melanggengkan kekuasaan rezim. Akibatnya, pendidikan nasional hanya mampu melahirkan manusia-manusia bermental budak.[24]
Berbeda dengan tanggapan ketiga tokoh masyarakat di atas, Prof. Haidar Putra Daulay menilai bahwa pendidikan Islam secara keseluruhan di Indonesia semakin kukuh kedudukannya, apalagi setelah masuk dan inklusif dalam system pendidikan nasional yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 1989 yang selanjutnya diatur pula serangkaian peraturan pemerintah yang berkenaan dengan pendidikan yang relevan dengan UU No. 20 Tahun 2003. Namun, – lanjut Haidar – untuk mengukuhkan eksistensi pendidikan Islam di Indonesia, maka usaha ke depan adalah bagaimana memberdayakannya dan mengembangkannya. Untuk memberdayakannya perlu dicari way out atau solusi dari berbagai problema yang sedang dihadapi; apakah itu tenaga pendidik, sarana fasilitas, kurikulum, maupun structural dan kultural.[25]
Sehubungan dengan alokasi waktu pelajaran agama yang sedikit, Prof. Haidarmenjelaskan bahwa guru dan sekolah dapat melakukan berbagai kegiatan-kegiatan di luar jam formal untuk menunjang kegiatan pendidikan agama, kegiatan itu seperti:
1- Bimbingan kehidupan beragama
2- Uswatun hasanah (suri teladan)
3- Malam ibadah
4- Pesantren kilat
5- Laboratorium pendidikan agama
6- Iklim religius,[26] dan lain sebagainya.
Seluruh rangkaian kegiatan di atas harus dapat dilaksanakan secara berkesinambungan serta terprogram dengan baik, agar ouput yang diperoleh dapat terwujud dengan baik.
E. Plus-Minuss Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Di samping sebagai sebuah tuntutan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengharuskan pendidikan agama wajib diajarkan di sekolah-sekolah umum, sebenarnya pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum tersebut baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang masih tetap dibutuhkan. Hal ini selain karena secara fitrah manusia tidak dapat dilepaskan dari akar agama, juga pendidikan agama di sekolah dapat dijadikan penyeimbang dan alat ukur dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang melekatkan karakteristik takwa melalui proses pendidikan.
Meski begitu, plus-minus dalam rangka proses pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum ini tetap saja ada. Di antara manfaatnya dapat penulis rangkumkan sebagai berikut:
1. Bahwa pendidikan agama masih diharapkan mampu menjadi tolok ukur bagi peserta didik dalam menciptakan manusia seutuhnya yang bertaqwa dan berakhlakul karimah.
2. Dengan pendidikan agama diharapkan kepada peserta didik mampu mempertahankan diri (self dependence) dari semua tantangan kehidupan, baik dalam mempertahankan fungsi khalifah fil-ardh, harkatnya (ahsanut-taqwim), maupun dalam rangka memenuhi kebutuhan keagamaannya.
Adapun dari sisi minusnya bisa kita tinjau dari beberapa aspek, di antaranya:
1- Peserta didik berasal dari lingkungan keluarga yang beraneka ragam tingkat pemahaman, pengamalan, serta penghayatan agama. Dalam hal ini tentu ada peserta didik yang berasal dari keluarga yang sudah memiliki pemahaman dan penghayatan agama yang tinggi, namun juga ada yang berasal dari kelompok sedang dan rendah. Idealnya kelompok-kelompok tersebut harus dipisahkan agar mendapat perlakuan yang berbeda sehingga masing-masing kelompok memperoleh perhatian. Bila ini tidak dilakukan, maka pendidikan agama tidak memiliki manfaat apapun bagi peserta didik.
2- Sebagian masyarakat (baik peserta didik, orangtua, bahkan guru) masih ada yang menganggap bahwa pendidikan agama di sekolah umum sekedar mata pelajaran pelengkap saja. Akibatnya kebaradaan pendidikan agama bukan menjadi sesuatu yang prioritas, sehingga kalau pun sekiranya dihapuskan, sepertinya tidak banyak mempengaruhi eksistensi peserta didik.
Untuk itu, guna mewujudkan pendidikan agama yang berkualitas dan diminati, maka perlu dilakukan pembenahan, pembinaan dan pengembangan; baik dalam bidang kurikulum, metodologi, maupun kualitas pendidik. Paling tidak, dari segi kurikulum harus mampu berorientasi kepada tiga hal, yaitu: (a) tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah); (b) tercapainya tujuan hablum minannas(hubungan dengan manusia); dan (c) tercapainya tujuan hablum minal-alam(hubungan dengan alam).[27]
*) disusun oleh: Indra Laksamana Muda
________________________________________
[1] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, Cet. 2, 2009), h. 85.
[2] Ibid, h. 86.
[3] Haidar Putra Daulay, Pendidikan islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), h. 150 – 151.
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: LSIK, 1996), 68 – 70.
[5] H.A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, (Jakarta: Dermaga, 1980), h. 135.
[6] Zahara Idris, Dasar-Dasar Kependidikan, (Bandung; Angkasa, 1981), h. 30.
[7]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), 77.
[8] Semua isi pasal-pasal dan penjelasan-penjelasan yang menyertainya dinukil dari Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hh. 87 – 90.
[9] Peraturan bersama yang dikeluarkan tanggal 20 Januari 1951 ini sekaligus berfungsi mencabut Penetapan Bersama Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dan Menteri Agama tanggal 2 Desember 1946 (lihat: Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 89).
[10] Bab II Pasal 4 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
[11] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 6.
[12] UU RI Nomor 20 Tahun 2003, (Bandung: Citra Umbara, Cet. 2, 2009), h. 9.
[13] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h.116.
[14] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 117.
[15] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 117.
[16] UU Sisdiknas, h. 23.
[17] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 86.
[18] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 87.
[19] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 167 – 168.
[20] UU Sisdiknas, h. 20.
[21] UU Sisdiknas, h. 21.
[22] H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Umum dan Agama), (Semarang: Toha Putra, 1997), h. 72.
[23] Muarif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2008), h. 56.
[24] Muarif, Liberalisasi Pendidikan, h. 9.
[25] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, h. 22.
[26] Lihat: Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, hh. 41 – 44.
[27] Fakhruddin, Pendidikan Islam Memasuki Era Informasi, (Miqat No. 68 Tahun XVIII, 1992).

0 komentar to Pendidikan Agama di Sekolah Umum

Posting Komentar