ASBAB AN NUZUL

Posted by Pustaka Mirzan On Rabu, 17 November 2010 0 komentar
ASBAB AN NUZUL

A. Pengertian Asbab An Nuzul
Asbab An Nuzul merupakan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan diturunkannya ayat al Qur’an. Secara etimologi, asbab an nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab an nuzul, namun dalam penggunaannya ungkapan asbab an nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunya al Qur’an, seperti halnya asbab al wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.
Secara terminology, asbab an nuzul dirumuskan oleh para ulama antara lain:
Ash Shabuni
Asbab An Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut., baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
Shubhi Shalih:



Asbab An Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al Qur’an (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.

Manna’ Al Qaththan:


Asbab An Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi.

Meskipun redaksi pendefenisian diatas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa Asbab An Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al Qur’an. Ayat tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian tersebut.
Asbab An Nuzul merupakan bahan yang dapat digunakan untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahNya. Sudah tentu bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa al Qur’an masih turun.
Namun begitupun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari Asbab An Nuzul turunnya setiap ayat, karena tidak semua ayat al Qur’an diturunkan karena timbulnya peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat al Qur’an yang diturunkan karena ibtida’ (pendahuluan), tentang akidah dan iman, kewajiban Islam dan syari’at Allah SWT dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus daku Khazraj; kesalahan besar, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi..

B. Kegunaan- Kegunaan Asbab An Nuzul
Asbab An Nuzul sangat membantu untuk mengetahui sebab-sebab suatu ayat diturunkan dan dalam memahami makna ayat. Ibn Taimiyah berkata seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy: “Mengetahui sebab nuzul membantu kita dalam memahami makna ayat, karena dapat diketahui bahwa mengetahui sebab menghasilkan ilmu tentang musabab.
Pengetahuan mengenai Asbab An Nuzul mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :
a. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syari’at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat
b. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat al ‘ibrah bikhushush as sabab la bi ‘ulum al lafzhi (yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafazh yang umum).
c. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbab an nuzul akan membatasi takhshish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan tidak dibenarkan mengeluarkannya dari cakupan lafaz yang umum itu Karen masuknya bentuk sebab kedalam bentuk yang umum itu bersifat qath’i (pasti, tidak bisa diubah). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama pada umumnya.
Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya Q.S An Nur : 23- 25:

•                            •  •     
Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).”

Ayat ini berkenan dengan Aisyah secara khusus , atau bahkan istri- istri Nabi lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat, “ sesungguhnya orang yang menuduh perempuan yang baik-baik,” itu berkenaan dengan Aisyah secara khusus . Juga dari Ibnu Abbas, masih tentang ayat tersebut, “ ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan istri- istri Nabi. Allah tidak menerima taubat orang yang menuduh seorang perempuan diantara perempuan- perempuan yang beriman selain istri- istri Nabi. “ kemudian Ibnu Abbas membacakan, “ Dan orang yang menuduh perempuan baik- baik…” sampai dengan…kecuali orang- orang yang bertaubat.” (An Nur: 4-5).
d. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami al Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya.
e. Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.

Az Zarqani mengemukakan urgensi Asbab An Nuzul dalam memahami Al-Quran, sebagai berikut:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Quran. Di antaranya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 115 dinyatakan bahwa timur dan Barat merupakan kepunyaan Allah. dAlam kasus shalat, dengan melihat zahir ayat di atas, seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk mengahadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi setelah melihat Asbab An Nuzul nya, tahapan bahwa interpretasi tersebut keliru. Sebab, ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan, atau berkaitan dengan orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.”
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Umpamanya dalam QS. Al-An’am: 145:

       •          ••        •           •    
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang."
Menurut As-Syafi’i, ayat ini di turunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi, turunlah ayat di atas.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz yang bersifat umum. Dengan demikian ayat “zihar” dalam permulaan QS. Al-Mujadalah: 1-6, yang artinya:
1. Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
5. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka Telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya kami Telah menurunkan bukti-bukti nyata. dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.
6. Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang Telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka Telah melupakannya. dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.

Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa Siti Aisyah berkata : “Maha Suci Allah yang pendengarannya meliputi segla sesuatu. Aku mendengar Khaulah binti Tsa’labah mengadu tentang suaminya Aus Ibn Shamit kepada Rasulullah akan tetapi aku tidak mendengar seluruh pengaduannya. Ia berkata: “masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput, aku telah tua bangka dan tidak melahirkan anak lagi, suamiku menziharku. Allahumma aku mengadu pada-Mu”. Tiada henti-hentinya ia mengadu sehingga turun Jibril membawa ayat ini yang melukiskan bahwa Allah mendengar pengaduannya dan menetapkan hukum zihar serta melarang mengadakan zihar (diriwayatkan oleh Al-Hakim dan menshahihkannya yang bersumber dari Aisyah) .
Ayat di atas hanya belaku bagi Aus ibn Shamit dan istrinya. Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan analogi (qiyas) .

4. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu kedalam hati orang yang mendengarnya, sebab hubungan sebab akibat, hukum, peristiwa, pelaku, masa dan tempat, merupakan satu jalinan yang menarik.

Taufiq Adnan Amal dan Syamsuk Rizal Panggabean mengatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan pra Qur’an dan pada masa al Qur’an menjanjikan beberapa manfaat praktis. Pertama, pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan sosial pada masyarakat Arab ketika itu, sikap al Qur’an terhadapnya dan cara sehingga al Qur’an mentransformasi gejala itu sehingga sejalan dengan pandangan dunia al Qur’an; Kedua, kesemuanya itu dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi; Ketiga, pemahaman tentang konteks kesejarahan pra al Qur’an dan pada masa al Qur’an dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik prakonsep dalam penafsiran.

C. Redaksi Asbab An Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan Asbab An Nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas, jelas mengenai sebab, dan terkadang berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan. Redaksi yang digunakan termasuk pernyataan tegas apabila perawi mengatakan :

“Sebab turunnya ayat ini adalah….”
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa’ ta’qibiyahi) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Misalnya ia mengatakan:

“Telah terjadi …., maka turunlah ayat…”


“Rasulullah pernah ditanya tentang…, maka turunlah ayat…”
Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan:

“Ayat ini turun berkenaan dengan…”
Atau perawi mengatakan:

“Saya kira ayat ini turun berkenaan dengan…”

D. Beberapa Riwayat Mengenai Asbab An Nuzul
Terkadang satu ayat memilki beberapa riwayat, terkadang satu ayat meilki riwayat beberapa riwayat yang berhubungan dengan Asbab An Nuzul. Dalam masalah seperti ini, sifat mufassir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak teas, naka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah menafsirkan atau menjelaskan bahwa hal itu termasuk kedalam makana ayat yang dsimpulkan darinya.
2. Jika salah satu redaksi riwayat tidak teagas, sedang riwayat lain menyebutkan asbbab Asbab An Nuzul dengan tegas yang berbeda dari riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayatka yang menyebutkan Asbab An Nuzul secara tegas itu, dan riwayat yang tidak tegas,
3. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab An Nuzul, salah satu riwayat di antaranya itu, shohih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shohih.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayata yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5. Jika riwayat- riwayat tersebut sama-sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan dan dikompromikan jika mungkin hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu antara sebab itu berdekatan.

E. Perhatian Ulama Terhadap Asbab An Nuzul
Para peneliti ilmu-ilmu al Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbab An Nuzul. Untuk menafsirkan al Qur’an ilmu ini sangat diperlukan, sehingga ada yang mengambil spesialisasi dalam bidang ini. Yang terkenal diantaranya adalah Ali bin Al Madini, Guru Al Bukhari, kemudian Al Wahidi - Ia adalah Abu Hasan Ali Bin Ahmad An Nahwi Al Mufassir, wafat 427 H- Asbab An Nuzul, kemudian Al Ja’bari- ia adalah Burhanuddin Ibrahim bin Umar- yang meringkaskan kitab Al Wahidi dengan menghilangkan sanad-sanad yang ada di dalamnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul Syaikhul Ibn Hajar- ia adalah Ahmad bin Ali Abul Fadhl Syihabuddin Al Hafiz bin Hajar Al Asqalani- penulis kitab Asbab An Nuzul, tetapi As Suyuti hanya menemukan satu juz dari naskah kitab ini. Kemudian As Suyuti- ia adalah Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti, wafat 911 H- melahirkan karya monumentalnya dan berkata, “Dalam hal ini, saya telah menulis satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik, dalam bidang ilmu ini yang saya beri judul Lubab Al Manqul fi Asbab An Nuzul.














DAFTAR PUSTAKA

Al Qaththan Manna’, Mabahits fi ‘ulum Al Qur’an, Mansyurat Al Ashr Al Hadits, ttp, 1973
------------------------, Pengantar Studi Ilmu al Qur’an, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009
Ash Shabuni, Muhammad ‘Ali, At tibyan fi ‘ulum Al Qur’an, Maktabah Al Ghazali, Damaskus, 1390
Az-Zarqani, Muhammad Abd Az-‘Azhim, Manhil Al-‘Irfan, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t, Jilid
Anwar , Rosihan, Ulum Al Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, Cet.I, 2008
Al Shalih, Shubhi, Mabahits fi ‘ulum Al Qur’an, Dar Al Qalam li al Malayyin, Beirut, 1988
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an & Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2009
Q. Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, 1992.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al Qur’an, Bandung: Mizan, 1989

0 komentar to ASBAB AN NUZUL

Posting Komentar