Studi hadis

Posted by Pustaka Mirzan On Rabu, 17 November 2010 0 komentar

A. PENDAHULUAN
Studi hadis telah banyak menyita perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam hingga saat ini. Bahkan, khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab- kitab hadis dibanding kitab- kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadis dalam Islam. Bersama al- Qur’an, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk kehidupan. Di sisi lain, berbeda dengan al- Qur’an, hadis tidak pernah dibukukan, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri pernah melarang Sahabat untuk mencatat hadis- hadis, karena khawatir akan bercampur dengan dengan ayat- ayat al- Qur’an. Kendati sudah ada catatan- catatan khusus baru dimulai pada abad ke- 2 H.
Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar Ibnu Hazm sebagai berikut, "Perhatikanlah, apa yang berupa hadits Rasulullah SAW. maka tulislah, karena sesungguhnya aku khawatir ilmu agama tidak dipelajari lagi, dan ulama akan wafat. Janganlah engkau terima sesuatu selain hadits Nabi SAW. Sebarluaskanlah ilmu dan ajarilah orang yang tidak mengerti sehingga dia mengerti. Karena, ilmu itu tidak akan binasa (lenyap) kecuali kalau ia dibiarkan rahasia (tersembunyi) pada seseorang."
Dalam banyak hal, al- Qur’an hanya menyebut prinsip- prinsip umum sehingga diperlukan penjabaran lebih lanjut. Karena itu, salah satu fungsi hadis ialah menjelaskan dan menjabarkan hal- hal yang ada tetapi belum terperinci dalam al- Qur’an. Selain itu, hadis juga membatasi ketentuan al- Qur’an yang bersifat umum. Bahkan hadis bisa juga menetapkan hukum yang tidak ada dalam al- Qur’an.
Hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur'an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya.
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur'an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujjah. Hadis ada yang dapat dipakai dan ada yang tidak dipakai. Untuk menjaga hadis dari kebohongan dan pemalsuan dalam periwayatannya, para ulama merumuskan syarat- syarat penerimaan hadis, baik yang berhubungan dengan periwayatnya maupun isi hadis tersebut. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang kedudukan sunnah dalam Islam, masalah penulisan, pencatatan, sistem isnad, penggolongan, pemalsuan dan literatur (kitab- kitab) hadis serta keritik- keritik dan perkembangannya yang mana keseluruhannya terdapat dalam studi hadis.


B. PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, SANAD, MATAN DAN RAWI
1. Hadis
Pengertian hadis (ﺍﻟﺤﺪﺙ) menurut bahasa adalah baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, cerita. Menurut ahli hadis; segala ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, taqrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), maupun deskripsi sifat- sifat Nabi SAW yang bersangkut- paut dengan hukum.
Dalam buku Departemen Agama, Ensklopedi Islam (1993), bahwa hadis adalah segala sabda, perbuatan, pengakuan, (taqrir) dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW, dapat disinonimkan dengan sunnah. Sebahagian ulama, misalnya al-Tibi berpendapat bahwa hadis bukan hanya memuat berita yang berasal dari Nabi dan Tabiin.
Sedangkan dalam buku Metodologi Islam (2007), karangan Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, hadis ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi SAW. Walupun hanya sekali saja terjadi sepanjang hidupnya dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja.

2. Sunnah
Sunnah ( ﺍﻟﺴﻨﺔ) menurut bahasa adalah jalan, metode dan arah. Menurut ulama ahli hadis, sunnah adalah perkataan, perbuatan, taqrir, sifat akhlak dan sifat anggota badan yang disandarkan kepada Rasululah SAW.
Sedangkan sunnah menurut istilah adalah, istilah yang mengacu kepada perbuatan yang mutawatir, yakni cara Rasulullah SAW melaksanakan suatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir pula.
Sedang menurut ulama ushul fiqh, sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir terhadap suatu perkataan atau perbuatan yang datang dari Rasululah SAW. Sedangkan menurut analisa pemakalah, hli ushul fiqh mendefenisikan Sunnah adalah untuk menjelaskan hal-hal yang bersangkut paut dengan hukum.
Sunnah juga adalah hujjah, sebagaimana firman Allah:
          
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53]: 3-4)
...          •   •    
“...apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
                              
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa [4]: 59).

3. Sanad
Menurut bahasa, sanad (ﺳﻨﺪ) berarti sandaran atau pegangan (al-Mu'tamad). Secara istilah, dalam ilmu hadis sanad berarti jajaran orang-orang yang menyampaikan seseorang kepada matan hadis atau silsilah urutan orang-orang yang membawa hadis dari Rasul, sahabat, tabiin, tabi’ at- tabiin, dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut.
Sanad adalah jalan yang bisa menyampaikan kepada matan. Jadi Sanad adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah SAW yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadis atau yang mencatat hadis), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan sahabat yang meriwayatkan hadis itu dikatakan akhir sanad.
Untuk menghadapi suatu hadis yang sanadnya banyak, tetapi semuanya daif, maka dalam hal ini perlu ditelaah letak ke-daifannya. Sanad yang daif tetap saja daif bila ke-daifan itu terletak pada periwayat yang sama tanpa ada mutabi’ yang mampu “menolongnya”.
Salah satu contoh hadis adalah:

احمد بن حنبل : حدثنا عبد الله حدثنى ابى حدثنا محمد بن السماك عن يزيد بن ابى زباد عن المسيب بن رافع عن عبد الله بن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا تشتروا السمك فى الماء فانه غرر"
Skema Sanad:
Rasulullah SAW

‘Abdullah ibn Mas’ud (shb. W. 33 H)

al- Musayyab ibn Rafi’ (w. 109 H)

Yazed ibn Abi zabad (47-136)

Muhammad ibn as-Sammak (Abu al Abbas) (w.183 H)

Ahmad (164-241 H)

‘Abdullah (w. 290 H).

Untuk mengatasi masalah sanad yang keadaannya seperti contoh di atas, diperlukan kecermatan dalam melakukan i’tibar, disamping takhrij al- Hadis untuk hadis-hadis yang semakna dan tahqiq dengan metode muqaranah.
Contoh lain misalnya :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ وَأَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَطِيبَ وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنْهُ إِلَّا بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ إِلَّا الْعَرَايَا

Skema Sanad:

























4. Matan (Matnul Hadis)
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shalaha wa irtifa’a min al-arabi ( tanah yang meninggi). Secara terminology istilah matan memiliki beberapa defenisi yang pada dasarnya maknanya sama yaitu materi atau lafadh hadis itu sendiri. Pada salah-satu defenisi yang sangat sederhana, misalnya di sebutkan bahwa matan itu ialah ujung atau tujuan sanad (ghayah as-sanad). Dari defenisi ini memberikan pengertian bahwa apa yang tertulis setelah silsilah sanad, adalah matan hadis .
Pada defenisi lain, seperti di katakan oleh ibnu al-Jamaah di sebutkan, bahwa matan ialah :
ما ينتهي اليه السند من الكل م
“Sesuatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
Sedangkan menurut Ath-Thibi mendefenisikan matan adalah :
الفا ظ الحديث التئ تتقوم بها معا نيه
“ Lafadh-lafadh hadis yang di dalamnya mengandung ma’na-ma’na tertentu”
Kalimat”ujung sanad”menunjukkan pada pemahaman yang disebut matan (materi lafadh hadis) yang penulisannya di tempatkan setelah sanad dan sesudah rawi.
Defenisi di atas sejalan dengan pandangan ibnu al-Atsir al-Jazari (W.606.H), bahwa setiap matan hadis tersusun atas element lafadh (teks) dan elemen makna (konsep).
5. Rawi
Rawi adalah orang yang menerima hadis dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya. Para ulama mengklasifikasikan para rawi dari segi banyak dan sedikitnya hadis yang mereka riwayatkan serta peran mereka dalam bidang ilmu hadits menjadi beberapa tingkatan. Dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu:
al-Musnid, adalah orang yang meriwayatkan hadis beserta sanadnya, baik ia mengetahui kandungan hadis yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan tanpa memahami isi kandungannya.
al-Muhaddits. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyid an-Nas, al-Muhaddits adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadis, baik dari segi riwayah maupun dirayah, hapal identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui keadaan mayoritas rawi di setiap zamannya beserta hadis-hadis yang mereka riwayatkan; tambahan dia juga memiliki keistimewaan sehingga dikenal pendiriannya dan ketelitiannya. Dengan kata lain ia menjadi tumpuan pertanyaan umat tentang hadis dan para rawinya, sehingga menjadi masyhur dalam hal ini dan pendapatnya menjadi dikenal karena banyak keterangan yang ia sampaikan lalu ditulis oleh para penanyanya. Ibnu al-Jazari berkata, "al-Muhaddits adalah orang menguasai hadis dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi dirayah."
al-Hafidh, secara bahasa berarti 'penghapal' Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddits. Para ulama menjelaskan bahwa al-Hafidh adalah gelar orang yang sangat luas pengetahuannya tentang hadis beserta ilmu-ilmunya, sehingga hadits yang diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya." Ibnu al-Jazari berkata, "al-Hafidh adalah orang yang meriwayatkan seluruh hadis yang diterimanya dan hapal akan hadis yang dibutuhkan darinya."
al-Hujjah, gelar ini diberikan kepada al-Hafidh yang terkenal tekun. Bila seorang hafidh sangat tekun, kuat dan rinci hapalannya tentang sanad dan matan hadits, maka ia diberi gelar al-Hujjah. Ulama mutaakhirin mendefinisikan al-Hujjah sebagai orang yang hafal tiga ratus ribu hadis, termasuk sanad dan matannya. Bilangan jumlah hadis yang berada dalam hapalan ulama, sebagaimana yang mereka sebutkan itu, mencakup hadis yang matannya sama tetapi sanadnya berbilang; dan yang berbeda redaksi/matannya. Sebab, perubahan suatu hadis oleh suatu kata, baik pada sanad atau pada matan, akan dianggap sebagai suatu hadits tersendiri. Dan seringkali para muhadditsin berijtihad dan mengadakan perlawatan ke berbagai daerah karena adanya perubahan suatu kalimat dalam suatu hadis seperti itu.
al-Hakim, adalah rawi yang menguasai seluruh hadis sehingga hanya sedikit saja hadis yang terlewatkan.
Amir al-Mu'minin fi al-Hadis (baca: Amirul Mukminin fil Hadits) adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang kemampuannya melebihi semua orang di atas tadi, baik hafalannya maupun kedalaman pengetahuannya tentang hadis dan 'illat-'illatnya, sehingga ia menjadi rujukan bagi para al-Hakim, al-Hafidh, serta yang lainnya. Di antara ulama yang memiliki gelar ini adalah Sufyan ats-Tsawri, Syu'bah bin al-Hajjaj, Hammad bin Salamah, Abdullah bin al-Munarak, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, dan Muslim. Dan dari kalangan ulama mutaakhkhirin ialah al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani dan lainnya. Jadi yang menjadi ukuran tingkat keilmuan para ulama hadis adalah daya hafal mereka, bukan banyaknya kitab yang mereka miliki, sehingga orang yang memiliki banyak kitab namun tidak hafal isinya, tidak dapat disebut sebagai al-Muhaddits.

C. PERKEMBANGAN AWAL STUDI HADIS

1. Penulisan dan Pembukuan Hadis Secara Resmi (Abad ke 2 H)

Pada periode ini Hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan Hadis secara resmi, hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat, Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama hadis. Para sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah meninggal dunia. Sementara hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah SAW yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.

2. Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadis (Abad ke 3 H)
Menurut ahli hadis, yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadis adalah karena hanya mengikuti pendapat populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis sudah dibukukan pada masa yang lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi'in dikarenakan adanya larangan Nabi dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru pada masa akhir tabi'in, hadis-hadis Nabi disusun dan dibukukan.
Masa pemurnian dan penyempurnaan hadis berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama hadis memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadis, terutama kemurnian Hadis Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak.
Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadis dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadis yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi SAW. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadis yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian Hadis yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian hadis kepada Hadis Shahih, Hasan, dan Dha'if.



3. Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadis (Abad 4 s/d 7 H)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum keNabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang mempu membaca.
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadis sudah menjadi suatu keharusan sejak abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan hadis sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya.

4. Pensyarahan, Penghimpunan, Pentakhiran, dan Pembahasan Hadis (Abad 7 H s/d sekarang)
a. Kegiatan periwayatan hadis
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa Mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekirnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa.
Kebangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Pada masa ini, para ulama hadis pada umumnya mempelajari kitab-kitab hadis yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadis pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) hadis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa hadis tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadis tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadis dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.
Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikhi'r-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadis baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima hadis dari guru-guru mereka.

b. Bentuk penyusunan kitab Hadis
Pada periode ini, umumnya para ulama hadis mempelajari kitab-kitab hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a. Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya. Di antara contohnya adalah:
1. Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2. Al-Minhaj, qleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3. ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.

b. Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadis, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
c. Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-Sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
d. Kitab petunjuk (kode indeks) hadis. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e. Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
g. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Koleksi Hadis-Hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.

Dengan adanya karya-karya besar para ahli hadis tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri hadis-hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas hadis-hadis tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan hadis-hadis yang daif.

D. PENDEKATAN UTAMA DALAM STUDI HADIS
Banyaknya pembahasan mengenai kehadisan, membuat ilmu hadis tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Dalam meneliti hadis, para ulama menggunakan berbagai cara dalam melakukan penelitian hadis. Penelitian tersebut dilakukan melalui pendekatan- pendekatan dalam penelitian. Penelitian hadis tampak masih terbuka luas, terutama jika dikaitkan dengan permasalahan aktual dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadis yang dipakai dalam berbagai kitab, misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadis- hadis yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadis sebelumnya. Akibat dari demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis pada umunya masih bersifat parsial.
Dalam buku Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam (2007) dijelaskan mengenai pendekatan- pendekatan dalam penelitian hadis. Pendektan tersebut antara lain :
1. Penelitian hadis yang dilakukan oleh H.M. Quraish Shihab menggunakan penelitian yang bersifat Deskriptif analitis. Bahan penelitiannya adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis oleh para pakar di bidang hadis, termasuk juga al- Qur’an.
2. Penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy menggunakan pendektan historis dan disajikan secara desktiptif analistis. Yakni dalam sistem penyajiannya menggunakan pendektan kronologis urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya mendapatkan bahan- bahan penelitian sebanyak- banyaknya dari berbagai literatur hadis sepanjang kurun waktu yang tidak singkat yakni selama 200 tahun, sejak dari masa rintisan Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124 H/ 742 M) sampai penyelesaian al-Nasa’iy (w. 303 H/ 916 M), salah satu tokoh al-Kuttab al-Sittah.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad al-Ghazali menggunakan penelitian eksploratif, yakni membahas, mengkaji dan menyelami sedalam- dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul dimasyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis. Dengan kata lain, M. al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadis yang ditelitinya dengan berbgai masalah aktual yang muncul dimasyarakat. Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analistis. Yakni, mendeskripsikan hasil penelitiannya sedemikian rupa, dilanjutkan menganalsisnya dengan menggunakan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran islam dalam berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan al- Qur’an dan al- Sunnah yang mutawatir.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Zain al-Din ’Abd al-Rahim bin al-Husain al-Iraqy menggunakan penelitian yang bersifat awal, yakni penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan- bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu.

E. PERKEMBANGAN MUTAKHIR DAN KRITIK TERHADAP STUDI HADIS

Status dan kualitas hadis, apakah dapat diterima ataupun ditolak, tergantung kepada sanad dan matan. Apabila sanad hadis telah memenuhi syarat-syarat tertentu, maka hadis tersebut adalah sahih dari segi sanadnya, tetapi belum tentu dari segi matannya, sebaliknya, jika ternyata sanad daif, maka otomatis hadis itu menjadi daif sekalipun matannya nanti sahih.
Begitu pentingnya peranan sanad dalam menetapkan status dan kualitas suatu hadis, maka para ulama hadis telah melakukan upaya untuk mengetahui secara jelas mengenai keadaan sanad. Upaya dan kegiatan ini berwujud dalam bentuk penelitian hadis. Penelitian sanad sering juga disebut dengan kritik ekstern atau an-Naqd az-Zahiri. Urgensi penelitian ini berkaitan dengan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al- Qur’an, dan karenanya, apabila syarat-syarat suatu hadis untuk dijadikan hujjah tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan tidak benarnya suatu hukum ajaran Islam yang dirumuskan.
Kata penelitian (kritik) dalam Ilmu Hadis sering dinisbatan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd (ا لنـقـد ) yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد ) yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk. Kata al Naqd itu juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang berarti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi atau Naqd al darahim yang berarti : تمييزالدراهم واخراج الزيف منها (memisahkan uang yang asli dari yang palsu ).
Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti :
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا

“Memisahkan hadis-hadis yang shahih dari dha’if, dan menetapkan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat). “

Jika kita telusuri dalam al- Qur’an dan Hadis maka kita tidak menemukan kata al Naqd digunakan dalam arti kritik, namun al- Qur’an dalam maksud tersebut menggunakan kata yamiz yang berarti memisahkan yang buruk dari yang baik
Obyek kajian dalam kritik atau penelitian hadis adalah : Pertama, pembahasan tentang para perawi yang menyampaikan riwayat Hadis atau yang lebih dikenal dengan sebutan sanad, yang secara etimologi mengandung kesamaan arti dengan kata thariq yaitu jalan atau sandaran sedangkan menurut terminologi, sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama. Maka pengertian kritik sanad adalah penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad Hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan Hadis dari guru mereka dengan berusaha menemukan kesalahan dalam rangkaian sanad guna menemukan kebenaran yaitu kualitas hadis.
Kedua, pembahasan materi atau matan hadis itu sendiri. Yang secara etimologi memiliki arti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari tanah . Sedangkan secara terminologi, matan berarti sesuatu yang berakhir padanya (terletak sesudah) sanad, yaitu berupa perkataan .Sehingga kritik matan adalah kajian dan pengujian atas keabsahan materi atau isi hadis.
Apabila kritik diartikan hanya untuk membedakan yang benar dari yang salah maka dapat dikatakan bahwa kritik Hadis sudah dimulai sejak pada masa Nabi Muhammad, tapi pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi SAW dan mengecek kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari beliau. Dan pada tahap ini juga, kegiatan kritik hadis tersebut sebenarnya hanyalah merupakan konfirmasi dan suatu proses konsolidasi agar hati menjadi tentram dan mantap. Oleh karena itu kegiatan kritik hadis pada masa nabi sangat mudah, karena keputusan tentang otentisitas suatu hadis ditangan Nabi sendiri.
Lain halnya dengan masa sesudah Nabi wafat maka kritik hadis tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada Nabi melainkan dengan menanyakan kepada orang atau sahabat yang ikut mendengar atau melihat bahwa Hadis itu dari Nabi seperti : Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah dan Abdullah Ibn Umar.
Pada masa Sahabat, kegiatan kritik Hadis dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shidiq. Seperti yang dikatakan oleh al-Dzahabi bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima riwayat hadis” dan juga yang dikatakan oleh al-Hakim bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang membersihkan kebohongan dari Rasul SAW”.
Sikap dan tindakan kehati-hatian Abu Bakar telah membuktikan begitu pentingnya kritik dan penelitian Hadis. Diantara wujud penerapannya yaitu dengan melakukan perbandingan di antara beberapa riwayat yang yang ada seperti contohnya :
“Pengalaman Abu Bakar tatkala mengahadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar yang meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa kami tidak melihat petunjuk al- Qur’an dan praktik Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sahabat, al-Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir pada waktu Nabi menetapkan kewarisan nenek tersebut. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan saksi tentang riwayat yang sama dari Rasul SAW, maka Muhammad Ibn Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah dan akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan oleh al-Mughirah”
Setelah periode Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melanjutkan upaya yang dirintis pendahulunya dengan membakukan kaidah-kaidah dasar dalam melakukan kritik dan penelitian Hadis. Ibn Khibban menyatakan bahwa sesungguhnya Umar dan Ali adalah sahabat yang pertama membahas tentang para perawi Hadis dan melakukan penelitian tentang periwayatan Hadis, yang kegiatan tersebut kemudian dilanjutkan para ulama setelah mereka.
Demikian pula Aisyah, Abdullan ibn Umar Abu ayyub al- Anshari serta sahabat lainnya juga melakukan kritik Hadis, terutama ketika menerima riwayat dari sesama sahabat, seperti yang dilakukan Abu Ayyub al- Anshari dengan melakukan perjalanan ke Mesir hanya dalam rangka mencocokkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.
Seiring dengan perluasan daerah Islam, Hadis pun mulai tersebar luas ke daerah- daerah di luar Madinah sehingga mendorong lahirnya pengkajian dan penelitian hadis seperti di Madinah dan Irak. Kegiatan itu pasca sahabat dilanjutkan para tabi’in yang berkonsentrasi pada kedua daerah tersebut.
Menurut Ibn Khibban yang dikutip oleh M.M.Azami, bahwa setelah Umar dan Ali di Madinah pada abad pertama Hijrah muncul tabi’in kritikus Hadis antara lain : Ibn al-Musayyab (w.93H), al-Qasim bin Muhammad bin Umar (W.106H), Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H), Ali bin Husain bin Ali (w.93H), Abu Sulamah bin Uthbah , Kharidjah bin Zaid bin Tsabit (w.100H), Urwah bin az Zubair (w.94H), Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harist (w.94H) dan Sulaiman bin Yasir (w.100 H). Setelah mereka muncul murid-muridnya di Madinah pada abad kedua yaitu tiga ulama kritikus hadis yaitu : az Zuhri, Yahya bin Said dan Hisyam bin Urwah.
Sedangkan di Irak, yang terkemuka antara lain adalah : Said bin Jubair, asy Sya’bi, Thawus, Hasan al-Bashri (w.110H) dan ibn Sirrin (w.110H), setelah itu muncul Ayyub as Sakhtiyani dan ibn ‘Aun.
Setelah berakhirnya periode tabi’in, maka kegiatan kritik dan penelitian hadis memasuki era perluasan dan perkembangannya ke berbagai daerah yang tidak terbatas. Sehubungan dengan itu muncul beberapa Ulama Kritik Hadis, antara lain : Sufyan ats Tsuri dari Kuffah (97-161H), Malik bin Anas dari Madinah (93-179H), Syu’bah dari Wasith (83-100H), al- Auza’I dari Beirut (88-158H), hamad bin salamah dari Bashrah(w.167H), Al laits bin Sa’ad dari Mesir (w.175H), Ibn Uyaianah dari Mekah (107-198H), Abdullah bin al- Mubarak dari marw(118-181H), Yahya bin Sa’id al Qathan dari Basrah (w.192H), Waki’ bin al Jarrah dari Kuffah (w.196H), Abdurrahman bin Mahdi dari Basrah (w.198H) dan Asy Syafi’I dari Mesir (w.204H).
Ulama-ulama tersebut di atas pada gilirannya melahirkan banyak ulama mashur di bidang kritik Hadis, antara lain : Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w.233H), Ali bin al-Madini dari Basrah (w.234H), Ibn Hanbal dari Baghdad (w.241H), Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Wasith (w.235H), Ishak bin Rahawaih dari Marw (w.238H) dan lain-lain. Murid-murid dari mereka itu yang tersohor adalah antara lain : Adz Dzuhali, Ad Darimi, al-Bukhari, Abu Zur’ah ar Razi, Abu Hatim ar Razi, Muslim bin al-Hajjaj an-Nisaburi dan Ahmad bin Syu’aib.


F. REFERENSI UTAMA DALAM STUDI HADIS

Dalam berbagai macam jenis referensi dalam studi hadis, maka dibawah ini adalah referensi hadis yang diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja, misalnya:
 Buku Tautsiq al-Sunnah fi al- Qurn al-Tsany al-Hijri Ususuhu wa Itijabat karangan Rif’at Fauzi Abd al-Muthallib (1981) yang membahas mengenai perkembangan al-Sunnah pada abad ke- 21 H.
 Buku Adlwa’a ’Ala Al- Sunnah al-Muhammadiyah, karangan Mahmud Abu Rayyah yang membahas mengenai telaah kritis terhadap sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW.
 Buku Ushul al-Takbrij wa Dirasat al-Asanid, karangan Mahmud At-Thahan yang khusus membahas penyeleksian hadis serta penentuan sanad.
 Buku al-Baits al-Hadits Syarh Ikhtisar Ulum al-Hadits, karangan Ahmad Muhammad Syakir (diterbitkan di Beirut) yang mana membahas mengenai Ikhtisar ’Ulum al-Hadits, karya Ibn Katsir (701- 774 H).
 Buku Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Musthalabuhu, karangan Muhammad Ajjaj al-Khatib.
 Buku Lahmat fi Ushul al-Hadits, karangan Adib Shalih.
 Buku Manhaj al- Naqd fi Ulum al-Hadits, karangan Nur al-Din Atar yang diterbitkan oleh Dar al-Fikr.


G. KONTRIBUSI SARJANA BARAT DALAM STUDI HADIS

Sarjana muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an dan Hadis serta sejarah Islam menjadi ragu dan takut dipersamakan dengan para orientalis yang memang sudah mempunyai ‘citra buruk’ di dunia Islam. Banyak dari sarjana muslim Indonesia yang mengambil program Islamic studies di Perguruan Tinggi Barat kemudian tidak terlepas dari stigmatisasi ini, bahwa mereka setelah kembali ke Tanah Air dicurigai sebagai Agen Barat dan telah terkontaminasi oleh pemikiran para orientalis.
Stigmatisasi ini kemudian menjadi beban psikologis sarjana lulusan Perguruan Tinggi di Barat dalam kajian keislamannya. Dengan beban psikologis ini, kajian keislaman terhadap sumber-sumber utama dalam sejarah Islam tidak bisa lagi dilakukan secara kritis dan bebas. Para sarjana muslim yang melakukan kritik terhdap tradisi Islam klasik merasa perlu berhati-hati dan melakukan disclaimer bahwa mereka bukanlah orientalis, dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan dan kemajuan peradaban Islam itu sendiri, dan bukan membela kepentingan Barat, terlebih orientalis.
Dalam khazanah keilmuan, kajian terhadap orientalisme dapat dipetakan ke dalam beberapa perspektif dan beberapa faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya adalah:
Pertama, orientalis memiliki kajian organis dengan penjajahan Barat di dunia Timur, khususnya oleh Inggris dan Perancis sejak akhir abad XVIII hingga Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II di bawah kendali Amerika Serikat, orientalisme mengambil bentuk neo-liberalisme, yang mewabah sampai saat ini. Dalam konteks penjajahan yang sesungguhnya, hampir dapat dipastikan bahwa setiap Negara imperialis memiliki kelompok yang disebut sebagai think thank groups, yang fungsinya mengkaji baik struktur nalar maupun struktur sosiologis Negara jajahannnya guna menguasainya secara penuh. Penjajahan Belanda di Indonesia misalnya, memiliki sosok Snouck Hurgronje dengan fungsi ini.
Kedua, orientalisme memiliki ikatan teologis dengan Barat, yang berbentuk kepentingan misionarisme keagamaan (Kristen). Kajian orientalis diperlukan untuk analisis cultural terhadap struktur nalar keislaman masyarakat timur, guna disusupi paham dan ajaran Kristen setelah diketahui sisi lemah dari ajaran Islam dan budaya ketimuran. Motif kedua ini menjadi jawaban atas marak dan berkembangnya agama Kristen di pelosok bumi pedalaman Indonesia bersamaan dengan datangnya penjajahan Portugis dan Belanda.
Ketiga, orientalisme digunakan untuk kepentingan taktis politik Barat atas dunia Timur-Islam. Hal ini dapat diperjelas dengan banyak munculnya proyek-proyek tendensius ala Barat atas dunia Timur dan Pemberian dana penelitian dari Pemerintahan Barat untuk mengkaji dunia Timur. Dalam konteks ini, H.A. Gibb menjadi contoh, bagaimana usaha Barat mengkaji kebijakan Timur melalui beberapa penelitian dan kajian keTimurannya. H.A. Gibb menjadi penasihat Inggris dan Amerika dalam menentukan kebijakan politik yang menyokong Israel dan menentang bangsa Arab.
Keempat, orientalisme yang sungguh-sungguh mencari informasi dan research ilmiah secara netral terhadap Islam.Research Ilmiah dan sikap netral dari kelompok keempat ini kemudian banyak membantu dan mempunyai kontribusi positif dalam dunia Islam guna memahami dan menggali simpanan tradisi (khazanah) keislaman. Sebut saja beberapa tokoh seperti John L. Esposito, Karen Amstrong, Marshal G. Hodgson, dan beberapa di antara mereka bahkan ada yang menjadi seorang Muslim.

Objektifitas Penulisan Sejarah Dalam Orientalisme
Latar belakang yang melahirkan orientalisme dalam berbagai seginya ini tidak semestinya menyebabkan apatisme di dunia Islam. Sikap kritis terhadap orientalis dan orientalisme memang harus tetap dimiliki oleh sarjana muslim dalam rangka menjaga track objektifitas keilmuan tetap terpenuhi.
Dengan melihat standar metodologi dan standart akademik yang ketat, yang dimiliki para ahli Islam dari Barat, banyak studi Orientalisme yang bisa memberi manfaat dan diambil oleh dunia Islam, utamanya mengenai studi mereka tentang Hadits dan sejarah keNabian maupun al-Qur’an, yang merupakan bekal para sarjana muslim untuk mengungkapkan khazanah Islam yang masih terpendam.Studi mereka tentang sejarah al-Qur’an misalnya, sangat padat dengan rujukan-rujukan dari sejarah Islam klasik. Penguasaan mereka terhadap bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik kita.
Objektifitas kajian orientalisme terhadap Islam dapat dilihat setidaknya dari sebagian besar sumber-sumber kitab klasik yang dijadikan rujukan para orientalis itu sendiri, sebut saja Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan Jhon Wanslbrough dalam studi mereka tentang sejarah al-Qur’an dan hadis. Sejauh menyangkut data, hampir tidak ada satupun kekeliuran yang mereka buat. Semuanya dapat dinilai akurat dan mengagumkan. Dengan data temuan orientalis ini kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan al-Qur’an dan hadis pada asalnya.
Verifikasi objektifitas studi yang dilakukan kaum orientalis terhadap hadis dan sejarah keNabian ini dapat kita bandingkan dengan studi yang dihasilkan oleh ulama klasik kita. Mungkin mereka menutup diri akan wacana yang begitu kompleks, yang ada dalam literatur hadis maupun sejarah keNabian. Padahal, pandangan-pandangan yang kerap dituduhkan sebagai “ciptaan orientalis” ini sesungguhnya adalah fakta sejarah yang sekaligus juga terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah.
Data-data yang terekam dari kitab-kitab mu’tabarah ini diungkapkan dan didiskusikan secara objektif oleh para orientalis. Apalagi akses atas kitab-kitab klasik itu kini semakin mudah karena sebagian besar sudah mendapat tahqiq dan diterbitkan lagi. Sudah saatnyalah kita mau membuka diri (open mind) dan berusaha membaca ulang karya-karya orientalis secara objektif.
Secara objektif dapat dikatakan, kajian para orientalis banyak membuka dimensi baru dan tidak terpikirkan dari sejarah yang selama ini kita ketahui. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama dan intelektual muslim kita. Bagaimanapun, metodologi kritik teks (hermenutika), khususnya teks-teks suci yang dimiliki orientalis adalah disiplin baru yang tidak memiliki presedent dalam sejarah intelektualisme umat manusia kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jangan sampai sejarah al-Qur’an, Hadits dan sejarah keNabian dianggap korpus tertutup yang sudah selesai dan tidak boleh diganggu gugat, seperti yang pernah terjadi di masa silam kita.
Membangun khazanah keilmuan sama dengan membangun sikap ilmiah agar tetap terjaga. Dengan kata lain, membangun peradaban dan kemajuan Islam berarti kemauan membuka diri dan pikiran terhadap apapun yang bisa menghantarkan pada tujuan yang kita inginkan dan menghindari sikap-sikap yang menghalanginya. Begitu juga dengan sikap terhadap kajian ilmiah, yang hendaknya dihindari jauh-jauh adalah sikap Klaim dan judgement. Karena keduanya menghadirkan penilaian yang timpang terhadap segala sesuatu. Klaim akan menghadirkan sikap tertutup yang jauh dari sifat spotif dan reatifis ilmu pengetahuan. Dalam kalim yang ada adalah ketidakmauan terhadap kemungkinan kebenaran datang dari luar; kebenaran sifatnya tunggal dan hanya berada dalam kelompoknya. Begitu juga judgment akan menghilangkan sifat objektif kita. Bedanya, klaim bersifat pembenaran ke dalam, sementera judgment penyalahan yang bersifat ke luar.
Dalam kasus orientalisme, tidak sepatutnya masyarakat muslim mengambil antipati atapun salah pikir dengan melakukan generalisasi. Mengeralisasikan satu orientalis dengan orientalis lain akan mengaburkan penilaian objektif ilmiah kita. Ada sebuah adagium “tidak semua yang keluar dari dubur ayam berupa kotoran, telurpun keluar dari jalur yang sama”. Begitulah seharusnya sikap kita terhadap orientalis dan produk karya dan pemikiran mereka.
Jika kita mampu menyibak kelemahan-kelemahan orientalis terhadap Islam, itu tidak berarti kita menafikkan kontribusi mereka dalam pengembangan kajian keislaman. Betapapun juga, dalam segi-segi tertentu, mareka telah membantu pemahaman kita terhadapfenomena, ekspresi dan penerjemahan Islam. Terlepas dari kelemahan-kelemahan kajian mereka, cukup banyak pula hal yang bisa dipelajari dari para orientalis. Ini tentu saja dengan tetap mempertahankan sikap kritis dan objektif. Oleh karena itu, kita harus tetap objektif dalam mengakui bahwa orientalisme memiliki sumbangan yang tidak sedikit terhadap kejian-kajian ketimuran, khususnya Islam.
Setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa sarjana muslim perlu membaca tulisan kaum orientalis. Pertama, buku pegangan di berbagai bidang ilmu, seperti ekonomi, sosiologi, psikilogi, teknik, kedokteran, dan lain-lain, sekarang banyak yang berasal dari dunia barat. Kalau ilmu agama Islam tidak mau ketinggalan dari ilmu-ilmu itu, maka ia wajib mencari hubungan atau berdialog dengan ilmu agama di kalangan cendikiawan dan sarjana Barat, khususnya hubungan dengan hasil-hasil yang telah mereka capai dalam bidang ilmu agama Islam. Kedua, dalam mengumpulkan bahan, menyimpan dan menerbitkan naskah-naskah lama, orientalisme mempunyai suatu tradisi yang kaya dan lama. Sering kali sumber- sumber khazanah Islam bisa digali dengan mudah di perpustakaan dan koleksi naskah di Barat dari pada di Mesjid kuno di dunia islam.
Jika dunia Islam menutup diri dari perkembangan studi atas subjek yang sama di dunia Barat, pada dasarnya berarti menutup diri dari kemungkinan perkembangan yang baru. Dalam tradisi keilmuan, mengadakan penelitian mengenai suatu persoalan, langkah pertama yang harus dilakukan mulakukan peninjauan atas hasil penelitian orang lain yang sudah membahas persoalan itu sebelumnya. Menutupi hasil penelitian orang Barat dari pembahasan ini tentu akan banyak merugikan penelitian para sarjana muslim kita sendiri.
Di samping itu, cara terbaik dalam menghadapi karya-karya orientalis ialah dengan meniru kesungguhan mereka dalam melahirkan karya-karya kreatif, tetapi juga harus mengembangkan sikap ekstra kritis terhadap tafsiran mereka mengenai doktrin Islam. Sikap yang hanya mencurigai adalah bentuk lain dari ketidakberdayaan intelektual.


ASBAB AN NUZUL

Posted by Pustaka Mirzan On 0 komentar

ASBAB AN NUZUL

A. Pengertian Asbab An Nuzul
Asbab An Nuzul merupakan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan diturunkannya ayat al Qur’an. Secara etimologi, asbab an nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab an nuzul, namun dalam penggunaannya ungkapan asbab an nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunya al Qur’an, seperti halnya asbab al wurud yang secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya hadis.
Secara terminology, asbab an nuzul dirumuskan oleh para ulama antara lain:
Ash Shabuni
Asbab An Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut., baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
Shubhi Shalih:



Asbab An Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al Qur’an (ayat-ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.

Manna’ Al Qaththan:


Asbab An Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi.

Meskipun redaksi pendefenisian diatas sedikit berbeda, semuanya menyimpulkan bahwa Asbab An Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al Qur’an. Ayat tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian tersebut.
Asbab An Nuzul merupakan bahan yang dapat digunakan untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahNya. Sudah tentu bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa al Qur’an masih turun.
Namun begitupun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari Asbab An Nuzul turunnya setiap ayat, karena tidak semua ayat al Qur’an diturunkan karena timbulnya peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada di antara ayat al Qur’an yang diturunkan karena ibtida’ (pendahuluan), tentang akidah dan iman, kewajiban Islam dan syari’at Allah SWT dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus daku Khazraj; kesalahan besar, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi..

B. Kegunaan- Kegunaan Asbab An Nuzul
Asbab An Nuzul sangat membantu untuk mengetahui sebab-sebab suatu ayat diturunkan dan dalam memahami makna ayat. Ibn Taimiyah berkata seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy: “Mengetahui sebab nuzul membantu kita dalam memahami makna ayat, karena dapat diketahui bahwa mengetahui sebab menghasilkan ilmu tentang musabab.
Pengetahuan mengenai Asbab An Nuzul mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :
a. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan perhatian syari’at terhadap kemaslahatan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat
b. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat al ‘ibrah bikhushush as sabab la bi ‘ulum al lafzhi (yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafazh yang umum).
c. Apabila lafazh yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbab an nuzul akan membatasi takhshish (pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan tidak dibenarkan mengeluarkannya dari cakupan lafaz yang umum itu Karen masuknya bentuk sebab kedalam bentuk yang umum itu bersifat qath’i (pasti, tidak bisa diubah). Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama pada umumnya.
Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya Q.S An Nur : 23- 25:

•                            •  •     
Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).”

Ayat ini berkenan dengan Aisyah secara khusus , atau bahkan istri- istri Nabi lainnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat, “ sesungguhnya orang yang menuduh perempuan yang baik-baik,” itu berkenaan dengan Aisyah secara khusus . Juga dari Ibnu Abbas, masih tentang ayat tersebut, “ ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan istri- istri Nabi. Allah tidak menerima taubat orang yang menuduh seorang perempuan diantara perempuan- perempuan yang beriman selain istri- istri Nabi. “ kemudian Ibnu Abbas membacakan, “ Dan orang yang menuduh perempuan baik- baik…” sampai dengan…kecuali orang- orang yang bertaubat.” (An Nur: 4-5).
d. Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami al Qur’an dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya.
e. Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.

Az Zarqani mengemukakan urgensi Asbab An Nuzul dalam memahami Al-Quran, sebagai berikut:
1. Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat Al-Quran. Di antaranya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 115 dinyatakan bahwa timur dan Barat merupakan kepunyaan Allah. dAlam kasus shalat, dengan melihat zahir ayat di atas, seseorang boleh menghadap kearah mana saja sesuai dengan kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban untuk mengahadap kiblat ketika shalat. Akan tetapi setelah melihat Asbab An Nuzul nya, tahapan bahwa interpretasi tersebut keliru. Sebab, ayat di atas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan, atau berkaitan dengan orang yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.”
2. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Umpamanya dalam QS. Al-An’am: 145:

       •          ••        •           •    
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang."
Menurut As-Syafi’i, ayat ini di turunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang yahudi, turunlah ayat di atas.
3. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafaz yang bersifat umum. Dengan demikian ayat “zihar” dalam permulaan QS. Al-Mujadalah: 1-6, yang artinya:
1. Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
5. Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka Telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya kami Telah menurunkan bukti-bukti nyata. dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.
6. Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang Telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka Telah melupakannya. dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.

Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa Siti Aisyah berkata : “Maha Suci Allah yang pendengarannya meliputi segla sesuatu. Aku mendengar Khaulah binti Tsa’labah mengadu tentang suaminya Aus Ibn Shamit kepada Rasulullah akan tetapi aku tidak mendengar seluruh pengaduannya. Ia berkata: “masa mudaku telah berlalu, perutku telah keriput, aku telah tua bangka dan tidak melahirkan anak lagi, suamiku menziharku. Allahumma aku mengadu pada-Mu”. Tiada henti-hentinya ia mengadu sehingga turun Jibril membawa ayat ini yang melukiskan bahwa Allah mendengar pengaduannya dan menetapkan hukum zihar serta melarang mengadakan zihar (diriwayatkan oleh Al-Hakim dan menshahihkannya yang bersumber dari Aisyah) .
Ayat di atas hanya belaku bagi Aus ibn Shamit dan istrinya. Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan analogi (qiyas) .

4. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu kedalam hati orang yang mendengarnya, sebab hubungan sebab akibat, hukum, peristiwa, pelaku, masa dan tempat, merupakan satu jalinan yang menarik.

Taufiq Adnan Amal dan Syamsuk Rizal Panggabean mengatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahan pra Qur’an dan pada masa al Qur’an menjanjikan beberapa manfaat praktis. Pertama, pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan sosial pada masyarakat Arab ketika itu, sikap al Qur’an terhadapnya dan cara sehingga al Qur’an mentransformasi gejala itu sehingga sejalan dengan pandangan dunia al Qur’an; Kedua, kesemuanya itu dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi; Ketiga, pemahaman tentang konteks kesejarahan pra al Qur’an dan pada masa al Qur’an dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik prakonsep dalam penafsiran.

C. Redaksi Asbab An Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan Asbab An Nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas, jelas mengenai sebab, dan terkadang berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan. Redaksi yang digunakan termasuk pernyataan tegas apabila perawi mengatakan :

“Sebab turunnya ayat ini adalah….”
Atau ia menggunakan kata “maka” (fa’ ta’qibiyahi) setelah ia mengatakan peristiwa tertentu. Misalnya ia mengatakan:

“Telah terjadi …., maka turunlah ayat…”


“Rasulullah pernah ditanya tentang…, maka turunlah ayat…”
Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan:

“Ayat ini turun berkenaan dengan…”
Atau perawi mengatakan:

“Saya kira ayat ini turun berkenaan dengan…”

D. Beberapa Riwayat Mengenai Asbab An Nuzul
Terkadang satu ayat memilki beberapa riwayat, terkadang satu ayat meilki riwayat beberapa riwayat yang berhubungan dengan Asbab An Nuzul. Dalam masalah seperti ini, sifat mufassir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak teas, naka tidak ada yang kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah menafsirkan atau menjelaskan bahwa hal itu termasuk kedalam makana ayat yang dsimpulkan darinya.
2. Jika salah satu redaksi riwayat tidak teagas, sedang riwayat lain menyebutkan asbbab Asbab An Nuzul dengan tegas yang berbeda dari riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayatka yang menyebutkan Asbab An Nuzul secara tegas itu, dan riwayat yang tidak tegas,
3. Jika riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan Asbab An Nuzul, salah satu riwayat di antaranya itu, shohih, maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat yang shohih.
4. Apabila riwayat-riwayat itu sama-sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih shahih, maka riwayata yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
5. Jika riwayat- riwayat tersebut sama-sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan dan dikompromikan jika mungkin hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu antara sebab itu berdekatan.

E. Perhatian Ulama Terhadap Asbab An Nuzul
Para peneliti ilmu-ilmu al Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbab An Nuzul. Untuk menafsirkan al Qur’an ilmu ini sangat diperlukan, sehingga ada yang mengambil spesialisasi dalam bidang ini. Yang terkenal diantaranya adalah Ali bin Al Madini, Guru Al Bukhari, kemudian Al Wahidi - Ia adalah Abu Hasan Ali Bin Ahmad An Nahwi Al Mufassir, wafat 427 H- Asbab An Nuzul, kemudian Al Ja’bari- ia adalah Burhanuddin Ibrahim bin Umar- yang meringkaskan kitab Al Wahidi dengan menghilangkan sanad-sanad yang ada di dalamnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul Syaikhul Ibn Hajar- ia adalah Ahmad bin Ali Abul Fadhl Syihabuddin Al Hafiz bin Hajar Al Asqalani- penulis kitab Asbab An Nuzul, tetapi As Suyuti hanya menemukan satu juz dari naskah kitab ini. Kemudian As Suyuti- ia adalah Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti, wafat 911 H- melahirkan karya monumentalnya dan berkata, “Dalam hal ini, saya telah menulis satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik, dalam bidang ilmu ini yang saya beri judul Lubab Al Manqul fi Asbab An Nuzul.














DAFTAR PUSTAKA

Al Qaththan Manna’, Mabahits fi ‘ulum Al Qur’an, Mansyurat Al Ashr Al Hadits, ttp, 1973
------------------------, Pengantar Studi Ilmu al Qur’an, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2009
Ash Shabuni, Muhammad ‘Ali, At tibyan fi ‘ulum Al Qur’an, Maktabah Al Ghazali, Damaskus, 1390
Az-Zarqani, Muhammad Abd Az-‘Azhim, Manhil Al-‘Irfan, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t, Jilid
Anwar , Rosihan, Ulum Al Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, Cet.I, 2008
Al Shalih, Shubhi, Mabahits fi ‘ulum Al Qur’an, Dar Al Qalam li al Malayyin, Beirut, 1988
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an & Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2009
Q. Shaleh dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, 1992.
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al Qur’an, Bandung: Mizan, 1989


PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Posted by Pustaka Mirzan On 0 komentar

A. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Bila kita perhatikan sebenarnya awal perkembangan teknologi pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal peradaban dan budaya manusia, dimana para orangtua bersama kelompoknya bertanggungjawab dalam mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka hingga mencapai kedewasaan melalui pengalaman langsung dalam keseharian kehidupan mereka dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Dunia pendidikan mau mengadakan inovasi yang positif untuk kemajuan pendidikan. Tidak hanya inovasi dibidang kurikulum, sarana-prasarana, namum inovasi yang menyeluruh dengan menggunakan teknologi pendidikan. Teknologi pendidikan seringkali diasumsikan dalam persepsi yang mengarah semata-mata pada masalah elektronika atau peralatan teknis saja, padahal teknologi pendidikan mengandung pengertian dan penerapan yang sangat luas. Teknologi pendidikan adalah suatu cara yang sistematis dalam mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi seluruh kegiatan proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik. Kemajuan atau perkembangan teknologi pendidikan sekarang ini tidak terjadi begitu saja.
Menurut James D Finn seorang Guru Besar Tetap dalam bidang Pendidikan di University of Southern California (USC), tahun 1920-an adalah awal perkembangan teknologi pendidikan. Istilah dan defenisi formal pertama yang berhubungan dengan teknologi pendidikan pada saat itu adalah”pengajaran visual” yakni kegiatan mengajar dengan menggunakan alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek, atau alat-alat yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkret melalui visualisasi kepada anak. Kelemahan pengajaran visual adalah hanya mengutamakan bahan itu sendiri, dan kurang memperhatikan desain, pengembangan, produksi, evaluasi, dan pengelolaan bahan itu. Dengan timbulnya rekaman suara dan film bersuara, pengajaran visual dikembangkan menjadi pengajaran audiovisual yang menggunakan perangkat pengajaran untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman melalui mata dan telinga.
Menurut sebagian ahli Teknologi Pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Kajian tersebut pada hakekatnya merupakan usaha dalam memecahkan masalah belajar manusia (human learning). Solusi yang diambil melalui kajian teknologi pendidikan bahwa pemecahan masalah belajar perlu menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat dengan banyak memfungsikan pemanfaatan sumber belajar (learning resources). Pengajaran audiovisual juga mengandung dua kelemahan yakni lebih menaruh perhatian kepada bahan daripada proses pengembangan bahan itu, dan tetap memandang audiovisual sebagai alat bantu guru dalam mengajar.
Pada akhir Perang Dunia II, mulai timbul suatu kecenderungan baru dimana orientasi teknologi pendidikan pada komunikasi mulai diperhatikan. Perhatian tidak lagi dipusatkan pada benda-benda, melainkan pada proses komunikasi informasi mulai dari sumber (guru maupun bahan) sampai kepada sasaran (siswa).
Usaha untuk merumuskan defenisi teknologi pendidikan secara terorganisasi dimulai pada tahun 1960. hingga sekarang defenisi teknologi pendidikan telah berkembang lima kali. Pengembangan defenisi pertama dilakukan oleh the Technological Develompment Project dari The National Education Association dengan ketua tim Prof. Dr. Donald P. Ely pada tahun 1963, yang disebut defenisi komunikasi audiovisual. Defenisi komunikasi audiovisual ini kemudian berkembang dengan menggunakan acuan Pendekatan Sistem dan Pengembangan Instruksional yang didefenisikan oleh the Commission on Instructional Technology yang dipimpin oleh Sidney Tickton pada tahun 1970. Defenisi yang kedua ini pun dianggap belum lengkap sehingga Komisi Defenisi dan Terminologi AECT mengeluarkan defenisi baru sebagai defenisi yang ketiga pada tahun 1972. Defenisi yang keempat muncul pada tahun 1977 setelah pada tahun 1975 AECT membentuk Komisi Defenisi dan Terminologi yang dipimpin oleh Dr. Kenneth H. Silber dengan anggota sebanyak 26 orang. Laporan komisi ini diterbitkan oleh AECT “The Defenition of Educational Technology”. AECT kembali membentuk Komisi Defenisi dan Terminologi pada tahun 1990 yang dipimpin oleh Barbara B. Seels dengan 21 orang anggota. Setelah bekerjasama selama tiga tahun komisi ini merumuskan defenisi yang keempat. Kemudian defenisi yang kelima pada tahun 1994.
Secara singkat sejarah perkembangan teknologi pendidikan sebagai suatu disiplin keilmuan, pada awalnya berkembang sebagai bidang kajian di Amerika Serikat. Sebagai istilah, teknologi pendidikan mulai digunakan sejak tahun 1963, dan secara resmi diikrarkan oleh Association of Educational and Communication Technology (AECT) sejak tahun 1977, walaupun adakalanya terjadi overlapping penggunaan istilah tersebut dengan teknologi pembelajaran. Teknologi pendidikan ditafsirkan sebagai media yang lahir dari perkembangan alat komunikasi yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan dan teknologi pembelajaran menurut Bambang Warsita bertujuan untuk memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi kegiatan pembelajaran.
Perkembangan kajian teknologi pendidikan menghasilkan berbagai konsep dan praktek pendidikan yang banyak memanfaatkan media sebagai sumber belajar. Oleh karena itu, terdapat persepsi bahwa teknologi pendidikan sama dengan media, padahal kedudukan media berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah dalam penyampaian informasi atau bahan belajar. Dari segi sistem pendidikan, kedudukan teknologi pendidikan berfungsi untuk memperkuat pengembangan kurikulum terutama dalam desain dan pengembangan, serta implementasinya, bahkan terdapat asumsi bahwa kurikulum berkaitan dengan “what”, sedangkan teknologi pendidikan mengkaji tentang “how”. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, teknologi pendidikan memperkuat dalam merekayasa berbagai cara dan teknik dari mulai tahap desain, pengembangan, pemanfaatan berbagai sumber belajar, implementasi, dan penilaian program dan hasil belajar.
Romiszoswki (1981) menyebutkan bahwa penggunaan istilah teknologi pada pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep produk berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang dimanfaatkan dalam proses pengajaran. Pada tahapan yang sederhana jenis teknologi yang digunakan adalah papan tulis, bagan, objek nyata, dan model-model yang sederhana. Pada tahapan teknologi menengah digunakannya OHP, slide, film proyeksi, peralatan elektronik yang sederhana untuk pengajaran, dan peralatan proyeksi (LCD). Sedangkan tahapan teknologi yang tinggi berkaitan dengan penggunaan paket-paket yang kompleks seperti belajar jarak jauh yang menggunakan radio, televisi, computer assisted instruction, serta pengajaran atau stimulasi yang komplek, dan sistem informasi dial-access melalui telepon dan lain sebagainya.
Penggunaan perangkat keras ini sejalan dengan perkembangan produk indutri dan perkembangan masyarakat, seperti e-learning yang memanfaatkan jaringan internet untuk kegiatan pembelajaran. Konsep proses atau perangkat lunak, dipusatkan pada pengembangan substansi pengalaman belajar yang disusun dan diorganisir dengan menerapkan pendekatan ilmu untuk kepentingan penyelenggaraan program pembelajaran. Pengembangan pengalaman belajar ini diusahakan secara sistemik dan sistematis dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar. Pengembangan program belajar diawali dengan analisis tingkahlaku yang perlu dikuasai pendidik dalam proses belajar dan pelahiran tingkah laku setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Tahapan analisis tingkahlaku tersebut memanfaatkan penggunaan ilmu atau sejumlah pengetahuan untuk mengungkap kemampuan yang harus dimiliki calon peserta didik, di samping kemampuan yang harus digunakannya untuk memperoleh kemampuan hasil belajar.
Di Indonesia sendiri penerapan teknologi pembelajaran baru dikenal sekitar awal tahun 1950-an , dengan didirikannya Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru (BKTPG) dan Balai Alat Peraga Pendidikan (BAPP) di Bandung. BKTPG yang sekarang menjadi Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis (P3G Tertulis) bertanggung jawab untuk menyelenggarakan penataran kualifikasi guru dengan bahan pelajaran tertulis dengan berpegangan pada konsep belajar mandiri. BAPP pada awal tahun 1970 diintegrasikan dengan Pusat Pengembangan Penataran Guru Bidang studi.


B. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih berorientasi teoritis dan menganggap fungsinya adalah mempersiapkan peserta didik untuk masa depan yang siap latih. Padahal, dengan semakin berkembangnya kegiatan sosial ekonomi diperlukan tenaga yang kompeten lebih banyak dan cepat. Hal ini memicu teumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pelatuhan dan kursus sebagai upaya pendidikan berkelanjutan yang bersifat terapan. Lembaga-lembaga ini ada yang berdiri sendiri, namun banyak yang merupakan bagian dari organisasi bisnis, industri dan public, serta organisasi pemerintah.
Pendidikan dan Pelatihan biasanya dibedakan dengan karekteristik berikut;
Pendidikan:
Waktu relatif lama, pengakuan dengan ijazah atau diploma, kurikum standar untuk keperluan mendatang, ditujukan bagi mereka yang akan memasuki lingkungan pekerjaan, program regular dengan pengajar tetap
Pelatihan:
Waktu relatif singkat, pengakuan dengan sertifikat, kurikulum fleksibel sesuai dengan keperluan, ditujukan bagi mereka yang ada/ sudah dalam lingkungan kerja dan program tidak regular serta pengajar tidak tetap/ widyaiswara.
Fungsi lembaga penyelenggara ini seharusnya merupakan agen pembaharu. Lembaga ini perlu memahami perubahan dan kemudian mampu menganalisis dampak perubahan itudalam lingkungan organisasinya, kemudian mempersiapkan dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan hasil analisisnya. Namun, masih banyak lembaga Diklat yang masih terbelenggu sehinnga harus menunggu instruksi atau hanya menyelenggarakan diklat atas permintaan atau perintah lembaga lain yang lebih tinggi kedudukannya dalam struktur organisasi atau bahakan tergantung pada alokasi dana yang diberikan.
Tuntutan akan prestasi pegawai baik negeri maupun swasta yang tinggi memang sudah menjadi bagian dari aspek pemerintahan/ perusahaan. Faktanya yang ada sekarang memperlihatkan bahwa belum semua pegawai memiliki prestasi kerja yang tinggi sesuai dengan harapan lembaganya. Masih banyak terdapat pegawai yang memiliki prestasi kerja rendah. Aktifitas kerja pegawai menunjukan hasil yang berbeda-beda antara pegawai satu dengan pegawai yang lainnya, meskipun mereka bekerja pada bidang dan tempat yang sama. Hal ini membuktikan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi prestasi kerja pegawai.
Pada kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai Surakarta misalnya, dimana setiap tahunnya mereka melakukan penilaian terhadap pegawainya,kemudian dari hasil penelitian inilah divisi menganalisis dan menentukan pegawai berprestasi. Selanjutnya, dibuatlah rencana pengembangan karir dan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan pegawai agar prestasi dan kontribusinya kepada perusahaan terus meningkat. Berdasarkan contoh kasus tersebut bahwa perusahaan perlu mengadakan penilaian terhadap pegawainya untuk mengetahui prestasi kerja pegawainya agar dapat mencapai prestasi yang sebaik-baiknya untuk kemajuan perusahaan.
Suatu sistem penilaian prestasi kerja yang baik harus bisa menampung berbagai tantangan eksternal yang dihadapi oleh para pegawai, terutama yang mempunyai dampak kuat terhadap pelaksanakan tugasnya. Tidak dapat disangkal bahwa berbagai situasi yang dihadapi oleh seseorang di luar pekerjaanya, seperti masalah keluarga, keadaan keuangan, tanggung jawab sosial dan berbagai masalah pribadi lainnya pasti berpengaruh terhadap prestasi kerja seseorang. Sistem penilaian tersebut harus memungkinkan para pegawai untuk mengemukakan berbagai masalah yang dihadapinya itu. Organisasi seyogyanya memberikan bantuan kepada para anggotanya untuk mengatasi masalahnya itu. Tanpa adanya prestasi kerja yang tinggi, mengakibatkan tugas-tugas pekerjaan yang diselesaikan kurang baik, kurang baiknya pelaksanakan tugas yang dikerjakan oleh pegawai menunjukan rendahnya prestasi kerja pegawai yang akan menggangu proses pencapaian tujuan perusahaan. Peningkatan prestasi kerja pegawai perlu memperhatikan hal-hal yang dapat memotivasi pegawai untuk menjalankan tugas-tugasnya antara lain dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya yang meliputi kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan akan makan dan minum, kebutuhan akan keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri dan kebutuhan perwujudan diri.
Salah satu faktor yang dianggap penting bagi peningkatan prestasi kerja pegawai yaitu adanya pendidikan dan pelatihan bagi pegawai atau karyawan. Karyawan (guru dalam dunia pendidikan) diharapkan menyukai tantangan dan mampu memecahkan permasalahan dalam pekerjaannya dengan lebih baik yang pada akhirnya dapat mendukung tercapainya prestasi kerja secara memuaskan perlu didukung adanya pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu. Pemimpin dalam hal ini perlu memberi kesempatan kepada bawahan agar mereka dapat mengaktualisasikan diri secara baik dan wajar di perusahaan. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan oleh Kantor Kementerian Agama RI misalnya, dengan pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru diharapkan menyukai tantangan dan mampu memecahkan permasalahan dalam pekerjaannya dengan lebih baik yang pada akhirnya dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan secara memuaskan dan berhasil guna. Dasar hukum penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 66/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Jabatan Fungsional Pranata Komputer dan Angka Kreditnya dan lain sebagainya.
Ada anggapan bahwa dengan digalakkan latihan akan menimbulkan pemborosan karena dianggap bisa mempertinggi biaya dalam pencapaian tujuan pendidikan. Anggapan tersebut salah karena justru dengan adanya latihan akan terjadi penghematan. Misalnya: peralatan yang canggih dan mahal apabila ditangani oleh tenaga yang kurang terlatih justru menimbulkan biaya yang sangat besar jika terjadi kerusakan. Maksudnya ingin menghemat malah menghasilkan pemborosan. Hasil dari penggalakkan latihan ini memang tidak dirasakan secara langsung karena merupakan investasi jangka panjang. Demikian halnya dengan pendidik jika tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai maka akan menghasilkan peserta didik (generasi) yang tidak berkembang ilmu dan teknologinya. Walaupun tidak dapat dipungkiri banyak pendidikan dan pelatihan yang telah diikuti oleh sebagian guru namun tingkat atau kualitas ilmu dan teknologinya tetap sama dengan sebelum mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi jika benar-benar menerapkan ilmu yang telah diperoleh dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang diikuti.

Instruksi presiden Nomor 15 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972, disebutkan bahwa “ pendidikan merupakan segala usaha untuk membina kepribadian dan mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmaniah dan rohaniah yang berlangsung seumur hidup, baik didalam maupun diluar negeri dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila. Sedangkan “pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu yang relative singkat dan dengan metode yang lebih mengutamakan praktek dari pada teori.

Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan merupakan proses yang berlanjut karena munculnya kondisi- kondisi baik perkembangan teknologi, perkembangan kurikulum maupun lembaga dalam dunia pendidikan/ pelatihan . Mengantisipasi adanya perkembangan perkembangan lain, kondisi-kondisi baru, mendorong pemerintah untuk menyusun program pendidikan dan pelatihan. Dengan adanya pendidikan dan pelatihan tersebut maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memberikan kontribusi yang terbaik dalam pencapaian tujuan, kompetensi bersaing, terlebih lagi pada persaingan global dan tuntutan perkembangan pengetahuan. Lembaga Diklat yang konvensional, belajar itu terjadi karena ada instrukut (widyaiswara) yang mengajar. Lembaga Diklat yang tranformatif akan mampu mengembangkan dan mengelola program BEBAS (Belajar yang Berbasis Aneka Sumber).


C. PENGARUH TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Teknologi telah merupakan bagian integral dalam setiap masyarakat. Makin maju masyarakat makin banyak teknologi yang dikembangkan dan digunakan. Bagi sebahagian orang menganggap teknologi mampu memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi. Demikian halnya dengan teknologi pendidikan sebagai suatu bidang kajian ilmiah, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang terus mendukung dan berupaya mengatasi masalah-masalah pendidikan.
Pengaruh teknologi pendidikan pada lembaga pendidikan dan pelatihan cukup besar antara lain:
1. Teknologi pendidikan membuka wawasan tentang terjadinya perubahan lingkungan strategis, terutama karena berkembangnya ilmu dan teknologi, sehingga diperlukannya inovasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan.
2. Penyusunan bahan pada Diklat. Biasanya disajikan oleh widyaiswara profeisonal. Namun dengan adanya bahan ajar yang disajikan melalui film, televise dan media lain maka penyusunan bahan dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama tim. Jadi baik orang maupun cara penyusunan bahan Diklat mengalami perubahan.
3. Mutu bahan ajar akan lebih dijaga, karena melalui teknologi pendidikan bahan ajar tersebut dapat disebarluaskan ke masyarakat.
4. Dengan adanya media untuk Diklat maka akan ada keseragaman bahan yang diperoleh oleh peserta. Pengadaan makalah atau bahan ajar telah mengarah pada keseragaman, namun dengan adanya media lain seperti radio dan televise maka keseragaman itu akan lebih terjamin. Hal ini terutama pada penyelenggraan pendidikan maupun pelatihan kelas jauh.
5. Berkembangnya pengertian dan tugas nara sumber pada Diklat. Bila selama ini nara sumber harus berinteraksi langsung dengan peserta Diklat maka dengan perkembangan teknologi pendidikan nara sumber dapat mempersiapkan modul cetakan atau data terprogram dan melalui media dia berinteraksi dengan peserta dimana dan kapan saja.

Teknologi pendidikan telah mampu mengatasi masalah khususnya pada lembaga pendidikan dan pelatihan. Misalnya, mempermudah mempelajari konsep yang abstrak, mudah mengatamati objek yang terlalu kecil/ besar, mudah menggambarkan peristiwa yang telah lalu, mudah memperoleh pengalaman langsung serta pemanfaatan waktu pendidikan dan pelatihan yang lebih efektif dan efisien.
Beberapa penerapan teknologi pendidikan secara menyeluruh, meliputi semua komponen yang merupakan system, dapat dicontohkan sebagai berikut:
1. Proyek percontohan sistem PAMONG (Pendidikan anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru) di kabupaten Karanganyar, Surakarta pada tahun 1974, dan disebarkan di kabupaten Malang dan Gianyar pada tahun 1978.
2. Pemasyarakatan P4 melalui permainan yang diuji cobakan di kabupaten Batu, Malang.
3. Proyek pendidikan melalui satelit (Rural Satellite Project) di perguruan tinggi wilayah Indonesia bagian Timur (BKSPT INTIM).
4. Program pendidikan karakter melalui serial televise ACI (Aku Cinta Indonesia = Amit, Cici, dan Ito) = serial televise (pendidikan) pertama (dan terakhir).
5. Program KEJAR Paket A dan B.
6. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
7. SLTP Terbuka.
8. Universitas Terbuka.
9. Sistem belajar jarak jauh yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan.
10. Jaringan sistem belajar jarak jauh (Indonesia Distance Learning Network = IDLN) dan SEAMOLEC (SEAMEO Open Learning Center) yang berkedudukan di Pustekkom Diknas.
Namun, pengaruh-pengaruh yang telah diungkapkan pemakalah diatas tidak serta merta positif dan berjalan lancar. Ia akan mempunyai akibat-akibat lebih lanjut yang menyangkut organisasi, personal, biaya, nilai dan norma dan sebagainya yang dapat mengarah kepada pengaruh-pengaruh negatif.
Sebagai akhir makalah ini kami mengutip azas manfaat dari teknologi pendidikan yang merupakan pendapat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dalam Lokakarya Nasional Teknologi Pendidikan di Yogyakarta yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
“Teknologi pendidikan perlu dipikirkan dan dibahas terus menerus karena adanya kebutuhan real yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu (i) tekad mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar; (ii) keharusan meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain, penyempurnaan kurikulum, penyediaan berbagai sarana pendidikan, dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar lewat berbagai bentuk pendidikan serta latihan; (iii) penyempurnaan system pendidikan dengan penelitian dan pengembangan sesuai dengan tantangan jaman dan kebutuhan pembangunan; (iv) peningkatan partisipasi masyarakat dengan pengembangan dan pemanfaatan berbagai wadah dan sumber pendidikan; (v) penyempurnaan pelaksanaan interaksi antara pendidikan dan pembangunan di mana manusia dijadikan pusat perhatian pendidikan.”

Perlu disadari bahwa semua bentuk teknologi, termasuk teknologi pendidikan, adalah sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada. Oleh karena itu teknologi itu pada hakekatnya adalah tidak bebas nilai, karena terkandung adanya aturan etik dan estetika dalam penciptaan dan penggunaannya. Namun ada orang-orang tertentu yang menyalahgunakan makna dan/atau penggunaannya, dengan menganggap teknologi itu value-free atau empty of meaning.










DAFTAR PUSTAKA
AJ, Romiszowski, Designing Instructional Systems, Decision Making in Course Planning And Curriculum Design, New York: Nichols Publishing, 1981
Miarso ,Yusufhadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2007, cet. 3
Nasution, S., Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. 4
Warsita, Bambang, Teknologi Pembelajaran: Landasan & Aplikasinya, Jakarta: Rineka Cipts, 2008, cet. 1,
http://re-searchingies.com./Ishak.1108.html.
Ikadeksuartama.blogspot.com/…/aplikasi-teknologi-pendidikan.html-tembolok.
Yusufhadi.net/wp-content/…/konstribusi-teknologi-pendidikan-dalam-2.doc.
www.geogle.com


STUDI FILSAFAT ISLAM

Posted by Pustaka Mirzan On 0 komentar

A. PENGERTIAN ISTILAH-ISTILAH KUNCI


A. Kata filsafat yang dalam bahasa Arab disebut falsafah berasal dari bahasa Yunani philoshophia yang terdiri dari dua kata yaitu philos artinya cinta dan shopia artinya ilmu, kebijaksanaan, hikmah.
Dalam bahasa Arab dikenal kata hikmah dan hakim, kata ini bisa diterjemahkan dengan arti filsafat dan filosof. Kata hukkam al Islam bisa berarti falasifat al Islam. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode-metode berfikirnya. Pengidentikan kata falsafah dengan hikmah sebagai upaya justifikasi ajaran Islam, sebab kata ini terdapat dalam beberapa ayat al- Qur’an. Apabila kata hikmah terdapat dalam al- Qur’an dan kata falsafah identik dengan kata hikmah, maka al- Qur’an memberikan justifikasi terhadap aktifitas falsafah. Kata hikmah tampil dalam 3 bentuk, yaitu hikmah secara umum, hikmah yang dikaitkan dengan kekuasaan dan hikmah yang dikaitkan dengan kitab suci.
Kata hikmah dalam makna umum dijelaskan dalam QS. Al Baqarah: 269
                  
Kata hikmah yang dikaitkan dengan kekuasaan terdapat dalam QS. Al Baqarah: 251

                 ••           
Kata hikmah yang dikaitkan dengan kitab suci terdapat dalam QS. Al Baqarah: 151
             •    
Kendati al- Qur’an menggunakan kata hikmah dan kata ini identik dengan makna falsafah namun dalam perkembangan awal filsafat Islam kata falsafah lebih banyak digunakan, sehingga muncullah istilah falsafah Islam. Hal ini disebabkan oleh euforia Yunani yang begitu bergema di dunia Islam. Namun dalam perkembangan berikutnya, ketika falsafah mendapat reaksi keras dari Imam Ghazali, muncul upaya-upaya elaborasi falsafah dengan wacana intelektual lain, seperti Ilmu Kalam dan Tasawuf. Upaya ini begitu menggeliat, khususnya di dunia Syi’i, sehingga kata hikmah menjadi kata baku untuk maksud falsafah. Atau seperti kata Henry Corbin, kata hikmah di Persia (dunia Syi’i) dimaksudkan sebagai wacana intelektual yang telah melalui proses elaborasi dengan Ilmu Kalam dan Tasawuf.
Selanjutnya kata Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti patuh, tunduk, berserah diri, serta memohon selamat dan sentosa. Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai.
Pada pengertian Filsafat Islam terdapat sejumlah pendapat. Musa Asy’ari mengatakan bahwa filsafat Islam itu pada dasarnya merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Filsafat Islam dapatlah diartikan sebagai kegiatan pemikiran yang bercorak Islami. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut islami bukan karena yang melakukan aktifitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
Ahmad Fuad Al- Ahwani mengatakan bahwa Filsafat Islam ialah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam-macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, filsafat Islam dapat diketahui melalui lima cirinya sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi sifat dan coraknya, Filsafat Islam berdasar pada ajaran Islam yang bersumberkan al- Qur’an dan hadits. Dengan sifat dan coraknya yang demikian itu, filsafat Islam berbeda dengan filsafat Yunani atau filsafat Barat pada umumnya yang semata-mata mengandalkan akal fikiran (rasio). Kedua, dilihat dari ruang lingkup pembahasannya, filsafat Islam mencakup bidang kosmologi, bidang metafisika, kehidupan manusia, masalah ilmu pengetahuan dan lain sebagainya kecuali masalah zat Tuhan. Ketiga, dilihat dari segi datangnya, filsafat Islam sejalan dengan perkembangan ajaran Islam itu sendiri, tepatnya ketika bagian dari ajaran Islam memerlukan penjelasan secara rasional dan filosofis. Keempat, dilihat dari segi yang mengembangkannya, filsafat Islam disajikan oleh orang-orang yang beragama Islam. Kelima, dilihat dari segi kedudukannya, filsafat Islam sejajar dengan bidang studi keislaman lainnya seperti fiqih, ilmu kalam, tasawuf, sejarah kebudayaan Islam dan pendidikan Islam.
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan'.


B. PERSENTUHAN ISLAM DENGAN PERADABAN YUNANI DAN PERSIA SEBAGAI LATAR BELAKANG TUMBUHNYA KAJIAN FILSAFAT

Sejak lama sebelum Islam menaklukkan wilayah-wilayah Timur, Suriah merupakan tempat bertemunya dua kekuasaan dunia saat itu, Roma dan Persia. Oleh sebab itu, bangsa Suriah memainkan peran penting dalam penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat. Pemikiran Yunani merupakan awal munculnya kesadaran manusia secara akliah yang mampu berfikir secara radikal untuk memecahkan rahasia alam atau yang maujud ini dan melihat hakekat Ketuhanan dengan pendekatan akal.
Proses pembentukan pemikiran itu diawali dengan peristiwa-peristiwa, misalnya ada persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya. Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang terjadi asimilasi.
Masuknya filsafat Yunani ke dalam dunia Islam terjadi secara tidak sengaja, dalam arti bahwa umat Islam tidak sengaja mencari filsafat Yunani untuk dipelajari. Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam terjadi secara alami, sebagai hasil interaksi antarmasyarakat Islam dengan bangsa Syiria, Persia dengan wilayah lain yang secara tidak langsung telah membahas ilmu kedokteran, kimia ke dalam Islam. Yang pertama kali dipelajari oleh umat Islam adalah ilmu kedokteran. Hal ini terjadi pada masa khalifah Marwan bin Hakam (64-65 H) ketika dokter Maserqueh menerjemahkan kitab Pastur Ahran bin Ayun , yang berbahasa Suryani ke dalam bahasa Arab. Kitab ini disimpan di perpustakaan sampai masa pemerintahan Umar bin Abd Aziz (99-101 H) dalam riwayat lain ada yang mengatakan bahwa penerjemah yang pertama kali dalam Islam di lakukan oleh Khalid bin Yazid al Amawi (85 H) yang memerintahkan menerjemahkan kitab-kitab kimia ke dalam bahasa Arab.
Sejak awal pemerintahan Khulafaurrasyidin sampai pemerintahan Bani Umayyah, umat Islam sudah menguasai wilayah-wilayah yang dahulu dikuasai oleh bangsa Romawi, Persia dan pemikiran-pemikiran Yunani sudah dibaca dan masuk dalam kalangan Islam.
Pada masa pemerintahan bani Abbas setelah pusat pemerintahan dipindah dari Damaskus (Syiria) ke Baghdad (Irak), kegiatan penerjemahan di lakukan secara besar-besaran dan ditangani secara serius. Al Makmun memprakarsai penerjemahan tersebut dengan dua alasan utama yaitu:
Pertama, banyaknya perdebatan mengenai soal-soal agama antara kaum muslimin disatu pihak dengan kaum Yahudi dan Nasrani dipihak lain. Untuk menghadapi perdebatan tersebut mereka memerlukan filsafat Yunani agar dali-dalil dan pengaturan alasan bisa disusun dengan sebaik-baiknya sehingga bisa mengimbangi lawan-lawannya yang terkenal memakai ilmu Yunani terutama logika; kedua, banyaknya kepercayaan dan pikiran-pikiran Iran yang masuk kepada kaum muslimin, orang-orang Iran dalam menguatkan kepercayaan memakai ilmu berpikir yang didasarkan atas filsafat Yunani.
Di zaman Bani Umayyah karena perhatian banyak tertuju pada kebudayaan Arab, maka pengaruh kebudayaan terhadap Islam belum begitu kelihatan. Pengaruh itu baru nyata atau kelihatan pada masa Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang Arab, tetapi orang-orang Persia. Puncak penerjemahan terjadi pada masa Al Makmun yang pada tahun 215 H mendirikan Bait al Hikmah, di mana para penerjemah dan pimpinannya di tangani oleh orang-orang yang menguasai bahasa Suryani, Yunani dan bahasa Arab dengan baik. Pimpinan Bait al Hikmah ini di pegang oleh Hunai ibn Ishaq.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani. Filosof-filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus. Namun belajar (berguru) tidak berarti mengekor dan hanya mengikut saja. Transformasi pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan dengan perbudakan dan penghambaan. Maka satu ide dapat dibahas oleh banyak orang. Seorang filosof berhak mengambil sebagian pandangan orang lain tetapi hal itu tidak menghalanginya membawa teori-teori dan filsafatnya sendiri. Ibn Sina misalnya walaupun sebagai murid yang murni dari Aristoteles tetapi ia mempunyai filsafat sendiri yang tidak dikatakan oleh gurunya.


C. TOKOH DAN KARYA UTAMA

1. Al Kindi
Ya’kub bin Ishak As Sabah bin Imran Al Kindi lahir di Kufah pada penghujung awal ke 8 M dan wafat pada tahun 873 M. Karangannya yang terkenal ditemukan oleh seorang ahli ketimuran Jerman, yaitu Hillmuth Ritter di perpustakaan Aja Sofia Istambul, dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah tersebut sudah diterbitkan di Mesir oelh M. Abdulhadi Aburaidah.
Al Kindi merupakan merupakan Bapak filsuf Muslim. Selain itu ada juga yang menyebutkan Al Kindi sebagai ahli filsafat Arab sebagaimana T.J De Boer, karena Al Kindilah orang Arab yang pertama mengupas filsafat dalam bahasa Arab. Al Kindi banyak menerjemahkan buku-buku Yunani (filsafat) ke dalam bahasa Arab. Dia juga merevisi buku-buku terjemahan yang telah dilakukan oleh orang lain seperti buku ”Theology of Aristotle”.

2. Ar Razi
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar Razi dilahirkan di Ray dekat Teheran, di sekitar tahun 865 M (251 H). Ia banyak menumpahkan perhatian untuk mempelajari matematika, kedokteran dan filsafat alam (natural philosophy) dan logika. Bukunya tentang filsafat antara lain Kitab Ilmul-Ilahi (Kitab ilmu Ilahi), Ath- Thibbur- Ruhani (hati yang suci) dan As Siratul Falsafiah (jalan filsafat). Sebagian besar dari karya tulisnya telah hilang. Ar Razi meninggal dunia pada tahun 925 M (313 H).

3. Al Farabi
Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al Farabi, yang dikenal dengan Avennoser, lahir di Wasij dalam daerah Farab (Turkestan) sekitar tahun 870 M (257 H). Ia wafat pada bulan Rajab 339 H (Desember 950 M). Kealiman Al Farabi ditunjang oleh keahliannya dalam ilmu logika, sehingga ia disebut oleh para ahli sejarah dengan sebutan Al Mu’allimuts Tsani (guru kedua), dialah filosof besar yang kedua setelah Aristoteles.
Karya-karya Al Farabi antara lain:
a. Maqalatun fi ma’anil- aql . Berisi tentang kedudukan akal, pembagiannya dan sumber ilmu (makrifat)
b. Al Jami’ baina rakyil- Hakimain (perkumpulan di antara dua hakim) , mempertemukan pendapat dua orang filosof Yunani yang masyhur Plato dan Aristoteles
c. Fima yanbaghi an-yuaqaddima qabla ta’allumil falsafah, mengemukakan bahwa logika tidak termasuk filsafat, tetapi sebagai alat untuk mempelajarinya.
d. Al Ibanah an ghardi Aristo fi kitabi ma ba’dat tabi’ah. Penjelasan tujuan metafisika Aristoteles terutama tentang hakikat wujud ditinjau dari materi dan bentuk
e. Al Masa-ilul-falsafah wal ajbiwatu anha, kelanjutan bahasan Al Ibanah an ghardi Aristo fi kitabi ma ba’dat tabi’ah
f. Ara’u ahlil madinah al fadhilah, membahas tentang qidam dan hadisnya alam, kedudukan malaikat langit dan dunia
g. Ihsha al ulum wat ta’rif bi aghradhiha, menjelaskan tentang pembagian dan macam-macam ilmu.

Kontribusi Al Farabi terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa.


4. Ibn Maskawaih
Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Maskawaih disebut juga dengan Abu Ali Al Khazin, lahir di Ray sekitar tahun 330 H (932 M), meninggal pada tanggal 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Beberapa karya tulisnya adalah :
a. Tahzibul Akhlaq wa Thathhirul a’raq
b. Tajribul umam
c. Al fauzul Akbar
d. Al Fauzul Ashghar
e. Tartibus Sa’dah
f. As Siyar

5. Ibn Sina
Asy Syaikh Ar Rais Abu Ali Al Husain bin Abdillah bin Sina, disebut juga Avicenna. Lahir di Afsyanah (Ef shene) di Bukhara pada bulan Safar tahun 370 H (980 M). Ia Meninggal di Hamzan pada tahun 428 H (1036 M). Karya-karya Ibn Sina memadukan antara sistem analisa filsafat dan medis. Karya-karyanya antara lain:
a. Asy Syifa (penyembuh). Kitab ini telah diterbitkan kembali di Mesir oleh suatu panitia dalam rangka memperingati 1000 tahun hari lahir Ibn Sina di Baghdad pada tahun 1952.
b. An Najah (keselamatan)
c. Al Isyarat wat Tanbihat (peringatan dan larangan). Kitab ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 dan di Kairo pada tahun 1947 oleh Dr. Sulaiman Dunia
d. Al Hikamat Al Masyriqiyyah
e. Al Qanun fith Thib (The Canon). Buku ini terdiri atas lima jilid yang merupakan ensiklopedi ilmu kedokteran yang tiada tandingannya pada masa itu. Terjemahannya dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona merupakan buku bacaan bagi berbagai universitas di Eropa sampai abad ke 17 M.
f. Hayy ibn Yaqzhan (hidup anak Yaqzhan) yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh Ny. Gaichan pada tahun 1959.

6. Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, nama latinnya Algazet atau Abuhamet dilahirkan di Ghazaleh pinggir kota Thus dalam wilayah Khurasan pada tahun 450 H (1058 M), meninggal dunia pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M). Ia telah menulis berbagai buku, dalam bidang fikih dan ushulnya ia menulis Al Wajiz, Al Wasith, Al Basith, Al Mustashfa (rumah sakit), dalam ilmu kalam ia menulis Al Iqtishad fil I’tiqad. Dalam ilmu manthiq ia menulis Mi’yarul Ilmi, tentang filsafat ia menulis Maqashidul Falasifah, Tahafutul Falasifah, Kimya’us Sa’adah, Misykatul Anwar, dan buku Al Munqizu minadh dhalal merupakan buku terakhir yang ditulisnya.

7. Ibn Bajjah
Abu Bakar Muhammad bin Yahya Ash Sha’igh terkenal dengan sebutan Ibn Bajjah dan di Eropa dzaz de1`isebut Avempace atau Avenpace. Ia lahir di Saragossa pada tahun 475 H (1082M).
Karya-karyanya antara lain:
a. Tadbiratul Mutawahhid (pelajaran/ latihan pertama)
b. Fin Nafsi (dalam kehidupan)
c. Risalah al Wada’ (risalah terakhir)
d. Risalah al Ittishal (risalah yang tidak mungkin)

8. Ibn Thufail
Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail Al Qaisi. Lahir di Guadix dekat Granada pada tahun 506 H (1110 M). Ibn Thufail biasa disebut Abubacer dalam bahasa Latin.
Karya-karya Ibn Thufail tidak ditemukan lagi kecuali buku roman filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asrar al Hikmati’l Masyraqiyyah. Ibn Thufail meninggal dunia di Maroko pada tahun 581 H (1185 M).

9. Ibn Rusyd
Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd atau di Barat dikenal dengan Averroes. Dilahirkan di Cordova pada tahun 520 H (1126 M). Pendidikan Ibn Rusyd dimulai dengan belajar sastra Arab, tafsir Qur’an, hadits dan ilmu kalam. Ditambah dengan mempelajari matematika, fisika, astronomi dan logika. Ia juga belajar ilmu medis dan filsafat dari Ibn Thufail. Tetapi M.M Syarif dalam editor bukunya Para Filosof Muslim menerangkan bahwa ia bukan murid dari Ibn Thufail.

Diantara karya-karyanya adalah:
a. Tahafut at Tahafut
b. Fashlul Maqal fima bainal hikmah wasy Syari’ah minal Ittishal
c. Al Kasyfu an Manahi jil Adillah
d. Al Kulliyatul fith Thib
e. Bidayatul Mujtahid

10. Mulla Shadra
Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami Shirazi. Namun beliau lebih populer dengan nama Mulla Shadra. Terdapat nama atau gelar lain yang diberikan kepada beliau seperti Al Mu’allihin, Akhund, al Hakim al Illahi al Faylasuf al Rabbani. Ia lahir Shiraz tahun 979 H/1571 M.
Ia mengikuti pendidikan dasar di kota Shiraz. Kemudian ia hijrah di kota Ishafahan, sebagai pusat ilmu pengetahuan Persia, bahkan di dunia Islam saat itu. Di kota ini Mulla Shadra menemukan aneka macam pemikiran dan ahli, terutama tiga hukama’ yang sekaligus menjadi mursyidnya yaitu syekh Baha’ al Din al Amili, ia belajar tentang al- Qur’an dan hadits, hukum (ilmu-ilmu naqliyah). Mir Abd. Qashim Findiriski, padanya ia belajar ilmu-ilmu lain termasuk mengenai agama-agama di luar Islam. Sedangkan pada Mir Damad ia belajar ilmu-ilmu ‘aqliyah.
Adapun karya-karya Mulla Shadra menyangkut ilmu ‘aqliyah adalah: Hikmah Muta’aliyah fi Asfar al ‘Aqliyat al Arba’ah, Iksir al Arifin, Al Mazhamir al Illhiyah, Al mabda wa al Ma’ad, Kitab al Masya’ir, Al Syawahid al Rububiyyah fi al Manahij al Sulukiyyah, Al Hikmah al ‘Arsyiyyah, Al Lama’ah al masyriqiyyah fi al Funun al Manthiqiyyah, Kasr al Ashnam al Jahiliyyah fi dhamm al Mutashawwifin, Al Qadha wa al Qadr fi af’al al Basyar, Al Mijaz, Risalah fi al Hasyr.

Adapun karya-karya Mulla Shadra menyangkut ilmu naqliyah adalah: Tafsir al Qur’an al Karim (9 Jilid), Mafatih al Ghayb, Mutasayabihah al Qur’an, Asrar al Ayah wa Anwar al Bayyinah.
11. Ibn Haitham
Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham atau Ibnu Haitham dikenal dalam kalangan cerdik pandai di Barat, dengan nama Alhazen, adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354 H bersamaan dengan 965 M. Ia wafat di Kairo 1039. Ia memulai pendidikan awalnya di Basrah. Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir. Selama di sana beliau telah mengambil kesempatan menyalin buku-buku mengenai matematika dan falak. Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai falsafah, logik, metafisik, dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan. Ia turut menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu. Bagi Ibnu Haitham, falsafah tidak boleh dipisahkan daripada matematik, sains, dan ketuhanan. Ketiga-tiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai dan untuk menguasainya seseorang itu perlu menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya.

Antara buku karyanya termasuk:
a. Al'Jami' fi Usul al'Hisab yang mengandungi teori-teori ilmu metametik dan metametik penganalisaannya
b. Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri
c. Kitab Tahlil ai'masa^il al 'Adadiyah tentang algebra
d. Maqalah fi Istikhraj Simat al'Qiblah
e. M.aqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak dan
f. Risalah fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.

12. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot, Punjab pada tanggal 22 Ferbruari 1873. Pada 1922 ia mendapat gelar Sir dari pemerintahan Inggris karena keahliannya dalam filsafat dan seni.






D. KONTROVERSI KAJIAN FILSAFAT

Filsafat Islam merupakan wacana yang mengadakan pembuktian kebenaran melalui rasio dengan kendali agama. Hal ini sesuai dengan pengertian filsafat Islam sebagai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu dengan tingkat kemampuan manusia.
Filsafat di dunia Islam merupakan benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat disayangkan tak bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap atas jasa Al Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali, dengan kitabnya Tahafut al Falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filsafat paripatetik. Setelah ini, filsafat secara geografis berpindah ke Iran, dengan corak gnostik-nya sebagai akibat dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu.
Pikiran-pikaran al Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan bathin. Dalam bukunya Tahafut al Falasifah dan Al Munqiz min Ad Dlalal, ia menentang filosof-filosof Islam, bahkan mengkafirkan mereka dalam 3 hal:
1. Pengingkaran kebangkitan jasmai
2. Membataskan ilmu Tuhan kepada yang kulli, sehingga tidak mengetahui yang juz’i.
3. Kekadiman alam

Vonis kafir yang diberikan al Ghazali, membawa imbas yang besar terhadap aktifitas intelektual kemudian, sehingga menampilkan tiga konfigurasi aktifitas intelektual di dunia Islam. Pertama, di dunia Islam sunni belahan Timur aktifitas filsafat berhenti sama sekali, digantikan dengan aktifitas tasawuf dan ilmu kalam. Kedua, di belahan Barat dunia Islam, khususnya Spanyol melalui pembelaan Ibn Rusyd terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut al Tahafut, aktifitas filsafat Islam terus berjalan. Di sini muncul dua filosof besar lainnya yaitu Ibn Thufail dan Ibn Bajjah. Namun karena kekuasaan Islam di kawasan ini dihancurkan oleh Ferdinand-ratu Isabella, aktifitas filsafat Islampun berhenti. Ketiga, di dunia Islam Syi’i aktifitas filsafat Islam terus berlanjut berbarengan dengan aktifitas tasawuf dan ilmu kalam.
Ibn Rusyd sebagai seorang filosof merasa berkewajiban menjawab Tahafut al Falasifah untuk menghilangkan kabut dan meratakan jalan bagi cara berfikir yang jernih. Oleh sebab itu ia menulis Tahafut al Tahafut untuk mengkaji argumen-argumen al Ghazali dan membela Aristotelianisme, dengan menunjukkan bahwa al Ghazali mempunyai paham yang keliru dan memberikan kritik-kritiknya mengenai para pendahulunya tidak mempunyai dasar. Ibn Rusyd mengutip beberapa ayat al Qur’an untuk menunjukkan bahwa berfikir tidak dilarang dalam Islam. Sebaliknya ada perintah-perintah yang jelas dalam al Qur’an agar orang-orang yang beriman berfikir dan merenungi kejadian-kejadian alam, karena berfikir seperti itu akan menuju kepada pengetahuan tentang Allah.
Agama Islam memberi penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat al Qur’an yang menganjurkan dan mendorong manusia untuk banyak berfikir dan menggunakan akalnya. Di dalam al- Qur’an dijumpai perkataan yang berakar dari kata ’aql (akal) sebanyak 49 kali. Kata-kata yang dipakai dalam al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir bukan hanya ’aqala tetapi juga kata-kata nazhara, tadabbara, tafakkarra, faqiha, tadzakkara,fahima.
Kemunduran pemikiran filsafat dalam dunia Islam ialah setelah filsafat mendapat reaksi keras dari Imam Ghazali. Namun hal ini tidak mengandung kebenaran, salah seorang sarjana Barat Henri Corbin membantah pendapat yang demikian. Kemunduran filsafat Islam bermula sejak tahun 1250 M dan itu bukan semata-mata akibat dari Tahafut al Falasifah Al Ghazali. Ini merupakan bagian dari hal yang kompleks dari ekses sosial, politik dan kultural pada umumnya. Atau dapat dikatakan kemunduran pemikiran filsafat dalam dunia Islam adalah akibat dari:
Pertama, hancurnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Islam oleh serangan Hulagu Khan (10 Februari 1258 M). Ia menghancurkan perpustakaan-perpustakaan Islam yang besar di Baghdad. Koleksi buku –buku yang ribuan banyaknya di buang ke sungai Tigris. Kedua, sementara di Timur kota Baghdad mendapat kehancuran, di Barat kota-kota yang menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam direbut pula oleh orang-orang Kristen, sehingga kota Cordova, Granada, Sevilla jatuh ke tangan mereka. Ketiga, kekacauan yang terjadi dalam tubuh pemerintahan Islam sendiri, tokoh-tokoh politik Islam saling menjatuhkan sehingga pecahlah daulat Islamiyah menjadi beberapa kerajaan kecil.
Meskipun faktor ini tidaklah merupakan faktor utama kemunduran pemikiran filsafat Islam, tetapi jelas membawa dampak yang negatif bagi perkembangan pemikiran Islam.




E. PERKEMBANGAN MUTAKHIR DALAM KAJIAN FILSAFAT

Generasi awal abad ke-20 adalah Sir Muhammad Iqbal yang merupakan salah seorang muslim pertama di anak benua India yang sempat mendalami pemikiran barat modern dan mempunyai latar belakang pendidikan yang bercorak tradisional Islam. Hal ini muncul dari karya utamanya yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam). Melalui penggunaan istilah recontruction, ia mengungkapkan kembali pemikiran keagamaan Islam dalam bahasa modern utnuk dikonsumsi generasi baru muslim yang telah berkenalan dengan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan filsafat Barat abad ke-20.
Sebuah fenomena, pada awal abad ke 20 ini, di Indonesia – dengan tidak menafikan negara-negara Islam lainnya – telah muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup berani dengan kemampuannya mengungkap warisan ilmu pengetahuan Islam dengan pendekatan epistemologi Islaminya. Ary Ginanjar Agustian misalnya, meski dia seorang praktisi yang bergerak di bidang usaha, dengan ‘ESQ Model’ nya, ia telah dianggap mampu memperkenalkan paradigma baru yang mensinergikan sains, sufisme dan psikologi dengan tetap berpijak pada ajaran-ajaran Qur’ani serta penekanannya pada prinsip Tauhid.
Ada lagi Agus Musthofa, seorang sarjana teknik nuklir lulusan Universitas Gadjahmada (UGM) Yogyakarta, dengan cukup berani ia mencoba menyingkap fenomena-fenomena spiritual yang dianggap sulit dicerna oleh indera manusia dengan argumen-argumen logis-empiris namun tetap berpijak pada koridor ajaran wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Tantangan terbesar bagi ilmuwan Muslim saat ini adalah, bagaimana menemukan formulasi yang konfrehensif tentang berbagai macam teori ilmu pengetahuan yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik Islam maupun non Islam, sehingga sains Islam-pun bukan hanya akan terbebas dari bayang-bayang imperialisme epistemologi barat, tetapi juga mampu mencerminkan secara kongkrit konsep Islam sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup Imam Al Ghazali Jakarta: 1976; Riwayat Hidup Al Ghazali
dalam Al Munqidzu minadh dhalal, Kairo, 1329 H. Sulaiman Dunia,Al Haqiqah fi Nazharil Ghazali
Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Semarang: Toha Putra, 1988
Al-Hikmah, Jurnal Studi-Studi Islam, nomor 14 (Oktober- Desember 1993)
Ali, Maulana Muhammad, Ismologi Dinul Islam, (terj.) R. Kaelani dan H.M. Bachrun,
Jakarta: Ichtiar Baru- Van Hoove, 1980
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, cet. Ke-1
Asy’ari, Musa, Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis dalam Irma Fatimah (Ed.),
Filsafat Islam,Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1972, cet. Ke-1
Boer, T.J De, The History of Philosophy in Islam, New York: 1967
el-Zahro@ blogsspot..com/Halaqah ‘Usyâriah,Al-Mîzân Study Club, (unduh: 11 Nopember 2009)

Fuad Al-Ahwani, Ahmad, Filsafat Islam, (terj.) Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, cet. Ke-1,
dari judul asli Al Falsafah al Islamiyah, Kairo: Dar al Qalam, 1962
Ginanjar,Ary, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, Jakarta: Arga, 2003
Hanafi, Ahmad, , Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1969
Hanafi, Ahmad, Islam Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996
Muhaimin et.al, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 182
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979,
cet. Ke-1
Nasution, Hasan Bakti, Hikmah Muta’aliyah, Bandung: Citapustaka Media, 2006
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
O. Kattsof, Louis, Pengantar Filsafat (terj.) Soejono Soemargono dari judul asli
Element of Philosophy, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989, cet. Ke-6.
Qadir, C. A, Filsafat Dan ilmu Pengetahuan Dalam Islam (terj.) Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Obor,1989
Syarif, M.M, Para Filosof Muslim (ed), disunting oleh Ilyas Hasan dari A History of Muslim Philosophy,
Bandung: 1962
www.wikipedia.com (unduh: 11 Nop 2009)
Kairo, 1947, hlm. 19-76